Ukhuwah wathoniyah atau persaudaraan kebangsaan menjadi tema utama dalam penyelenggaraan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, di Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari-1 Maret 2019. Tema itu mengingatkan kembali bahwa bangsa ini dibangun atas dasar kerja sama dan konsensus bersama.
Tempat diselenggarakannya munas alim ulama itu sendiri juga menjadi saksi benih-benih persaudaraan kebangsaan disemaikan. Pesantren seluas sekitar 5 hektar (ha) yang berada di Desa Kujangsari, Kecamatan Langensari, Banjar, itu dibangun di atas tanah bekas hutan dan rawa-rawa. Seperti umumnya kompleks pesantren di Tanah Air, pesantren yang berada sekitar 6 kilometer (km) dari Stasiun Banjar itu seolah menyatu dengan lingkungan masyarakat sekitar. Jalan tempat pesantren itu berada pun dinamai Jalan Pesantren.
Warga menyambut gembira acara munas. Persiapan sudah dilakukan sejak sebulan sebelum acara. Para pedagang yang membuka pasar rakyat di sepanjang Jalan Pesantren ketika perhelatan munas berlangsung datang dari berbagai daerah di Banjar. Begitu pula warga yang sibuk membantu penyelenggaraan munas itu, mulai dari penyiapan makanan untuk tamu, kebersihan lokasi, hingga penyediaan penginapan, semuanya dilakukan dengan cuma-cuma oleh warga pondok. Ibarat hajatan besar, semua warga bergotong-royong untuk menyukseskan.
“Semua mau membantu, supaya mendapat berkahnya Kiai,” tutur Hasanun (45), lelaki asal Desa Muktisari, sekitar 1 km dari pesantren Miftahul Huda. Sembari menengok air di dalam periuk, tangannya sesekali membenarkan kayu yang dimasukkan ke dalam tungku. Bara api menyala-nyala, memanaskan dua periuk yang berisi air, dan dua periuk lainnya nasi.
Jauh lagi di belakang rumah Kiai Munawir Abdurrohim, pengasuh ponpes, puluhan warga lainnya menyiapkan masakan, mulai dari ayam, ikan, dan sayur-sayuran. Nyai Dairotul Hasannah (54), istri Kiai Munawir, mengawasi langsung penyiapan makanan untuk tamu itu. Tangannya menjumput nasi kebuli yang disiapkan untuk tamu dan setelah sebentar mencicipi, kepalanya mengangguk. “Ya, ini rasanya sudah pas,” ujarnya pada seorang ibu.
Sedikitnya 10.000 tamu yang datang dalam kegiatan munas itu harus dilayani keperluan makannya. Untungnya, keluarga besar pesantren semua turun tangan. Delapan kiai dan nyai keturunan Kiai Marzuki, pendiri pesantren, turut menyediakan makanan untuk tamu. Dapur-dapur umum dibangun di belakang rumah masing-masing kiai, sehingga 10.000 tamu yang hadir itu semuanya bisa terlayani. Ratusan warga sekitar pesantren terlibat dalam dapur umum di rumah masing-masing kiai.
Kerja sama dan gotong-royong menjadi ciri khas masyarakat pesantren.
“Sejak zaman penjajahan, warga sekitar dan pesantren selalu bekerja sama. Dulu, kelompok Hizbullah yang didirikan ayah saya (Kiai Abdurrohim) sebelum pergi berperang, meminta doa ke sini. Ayah saya sampai dijuluki Kiai Suwuk karena setiap kali bambu sudah diruncingkan, oleh pejuang dibawa ke sini untuk disuwuk (didoakan),” kata Kiai Munawir.
Pejuang Hizbullah meyakini doa dan berkah dari kiai akan membawa kemenangan bagi mereka. Kiai dalam pesan-pesannya juga selalu memompa semangat laskar hizbullah yang melawan penjajah. Teriakan merdeka selalu digelorakan Kiai Marzuki, dan dalam praktiknya di lapangan, perjuangan melalui laskar hizbullah digerakkan oleh dua putranya, Kiai Ahmad Soleh dan Kiai Abdurrohim.
Puncak perlawanan terjadi sekitar tahun 1948. Saat itu, pemuda pondok dan anggota hizbullah dituduh menggulingkan kereta api yang mengangkut persenjataan Belanda. Persenjataan itu rencananya digunakan Belanda untuk mendukung Agresi Militer kedua. Kereta berangkat dari Bandung menuju Surabaya. Namun, saat sampai di Jembatan Cibeureum (wilayah Tasikmalaya), kereta itu terguling.
Kelompok pemuda menggulingkan kereta itu dengan cara melepas baut-baut pada rel. Saat kereta lewat melintasi rel yang telah dirusak itu, kereta anjlok dan terguling. Tempat jatuhnya kereta itu dinamai cibeureum, karena airnya atau ci menjadi bereum (merah) oleh darah penjajah. Kelompok pemuda yang melakukan sabotase itu lari masuk ke dalam hutan di sekitar areal pondok.
Terus dirawat
Di masa kini, jejak-jejak semangat kebangsaan itu berupaya terus dirawat oleh para kiai dan santri. Jarigan ulama pesantren yang tergabung dalam jamiyah NU menjadikan ukhuwah wathoniyah sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan mereka. Bedanya, di masa kini mereka tidak lagi menghadapi penjajah, tetapi berjuang meningkatkan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, sekaligus terus menyuarakan keberagamaan yang toleran. NU mengakui negara bangsa, dan menganggap siapa pun yang berkontribusi pada berdirinya republik adalah saudara dalam kebangsaan.
Landasan utamanya ialah pesan pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari dengan ungkapannya “hubbul wathon minal iman” (cinta Tanah Air sebagian dari iman). Ekspresi kebangsaan itu berupaya diwariskan melalui pendidikan di pesantren sebagai basis utama gerakan NU.
Oleh karenanya, di tengah-tengah suasana keberagamaan dan kebangsaan yang cenderung mengeras, serta kehadiran kelompok takfiri (gemar mengafirkan orang lain), munas mengambil sikap untuk menghindari hal semacam itu.
“Indonesia ini sudah seperti piagam Madinah, karena kemauannya mengakui Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Intinya sama seperti piagam Madinah, yakni mendirikan suatu kawasan bersama-sama untuk dijaga dari serangan luar. Soal ibadah, silahkan masing-masing menjalankan ibadahnuya, baik itu Yahudi, Nasrani, Majusi. Demikianlah itu negara yang benar seperti dicontohkan Rasul,” kata Kiai Munawir.
Eskpresi kebangsaan yang menonjol dari pesantren itu pun dirumuskan kembali dalam konsepsi Islam Nusantara. Dalam hal ini, Islam Nusantara pun tidak bersifat eksklusif, atau hanya menyoal internal kebangsaan Indonesia. Islam Nusantara didorong untuk berperan sebagai juru damai bagi pertikaian negara-negara berpenduduk muslim di dunia.
“Islam Nusantara adalah Islam yang damai, harmonis, santun, anti kekerasan, dan antiradikalisme,” kata KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nadhdlatul Ulama (PBNU).
NU memiliki modal sosial dan infrastruktur organisasi yang cukup untuk melakukan peran itu, antara lain dengan kehadiran 36 Pengurus Cabang NU (PCNU) di seluruh penjuru dunia. NU juga beberapa kali menjadi mediator pertikaian, antara lain konflik di Afghanistan, konflik Sunni-Syiah di Irak, dan baru-baru ini konflik antara pemerintah China di Beijing dengan kelompok Uyghur.
Nilai-nilai yang diusung NU laksana bara api yang menggelorakan semangat ukhuwah wathoniyah. Semoga nilai-nilai itu terus lestari, dan tidak luntur, apalagi tergadaikan dalam kontestasi politik...