Senarai karya Putu Wijaya, tokoh teater Indonesia, selalu relevan dalam perjalanan seni kontemporer tanah air. Karya-karyanya konsisten menebar teror mental terhadap apresiatornya. Dia melawan segala bentuk kemapanan yang usang dan mendorong tradisi berpikir baru. Semuanya dilakukan dalam bingkai kemanusiaan, keadilan, kemajemukan, serta tanpa kekerasan.
Oleh
Samuel Oktora
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS-Senarai karya Putu Wijaya, tokoh teater Indonesia, selalu relevan dalam perjalanan seni kontemporer tanah air. Karya-karyanya konsisten menebar teror mental terhadap apresiatornya. Dia melawan segala bentuk kemapanan yang usang dan mendorong tradisi berpikir baru. Semuanya dilakukan dalam bingkai kemanusiaan, keadilan, kemajemukan, serta tanpa kekerasan.
Hal itu terungkap dalam seminar bertajuk Mengkaji Kreativitas Putu Wijaya yang digelar Institut Nalar Jatinangor bersama Second House di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (2/3/2019). Karya Putu yang dikaji berupa naskah drama, cerita pendek, novel, esai, karya pementasan teater, serta lukisan. Putu hadir dalam diskusi itu. Dia duduk di kursi roda pasca mengalami stroke tahun 2012.
Tampil sebagai pemateri adalah Wakil Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya Tasikmalaya yang juga cendekiawan muslim Nahdatul Ulama (NU) Asep Salahudin dan seniman Herry Dim. Selain itu, ada juga Ketua Program Studi Sastra Indonesia Universitas Padjdajaran Lina Meilinawati Rahayu serta wartawan senior Harian Kompas Putu Fajar Arcana.
Seminar itu merupakan rangkaian acara bertajuk Putu Wijaya: Bertolak dari yang Ada, 1-3 Maret di Bandung. Ada pameran lukisan dan lokakarya yang ditampilkan. Puncaknya, pementasan karya Putu Wijaya. Pada 11 April 2019, Putu bakal berusia 75 tahun.
“Pentas pertunjukkan Putu Wijaya dan Teater Mandiri (kelompok teater yang didirikannya tahun 1971), bagi saya seperti alat kejut. Teater teror mental untuk memberikan penyadaran berpikir,” kata Herry.
Pertunjukkan teater Putu, kata Herry, memberikan kejutan pesan-pesan kuat. Hal ini sangat dibutuhkan seseorang atau situasi sosial suatu bangsa saat dalam kondisi darurat, bahaya, hingga kemungkinan mati suri.
“Pengingat kita semua. Dalam kehidupan, semua orang harus tetap harus siaga,” ujarnya.
Sementara itu Lina berpendapat, jika dicermati teks-teks karya Putu mengandung kekuatan subversif terhadap segala bentuk kemapanan. Lina mencontohkan cerita pendek berjudul "Pejabat". Kisahnya tentang karyawan yang disuruh meneliti kesejahteraan di pelosok. Kondisi penduduk desa itu memprihatinkan. Namun, karyawan itu melaporkan sebaliknya. Si pejabat gembira. Desa itu diumumkan kepada publik sangat makmur dan bahagia.
Sedangkan Arcana menyoroti, sosok Putu yang melakukan perlawanan terhadap kemapanan. Dia lahir dengan nama “besar” I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Putu adalah keturunan wangsa Ksatria dalam struktur sosial masyarakat Bali.
Sejak belia, Putu hidup dalam keraton keturunan Raja Tabanan. Namun, setelah cerpen pertamanya berjudul Etsa dimuat di surat kabar Suluh Marhaen akhir tahun 1950-an, Putu tidak menggunakan gelarnya. Dia hanya mencantumkan namanya sebagai Putu Wijaya.
"Itu menandakan dia lebih ingin dianggap sebagai orang biasa seperti rakyat umumnya,” ujar Arcana.
Dari atas kursi roda, Putu mengatakan, apa yang dilakukannya selalu berpegang pada prinsip bertolak dari yang ada. Dia prihatin, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang putus harapan karena merasa tidak mempunyai apa-apa. Ironisnya, mereka tidak melakukan apapun untuk memperbaiki nasibnya. Masyarakat cenderung menunggu pemerintah tanpa inisiatif kreatif.
“Ini penyakit yang harus dihilangkan. Kita dapat memanfaatkan apa saja. Kreativitas yang sebenarnya ada di dada kita harus ditumbuhkan. Jangan lupa untuk terus mengasahnya,” kata Putu.
Dengan harapan semangat itu akan terus muncul, Putu mengatakan teror mental lewat karya akan terus dilakukan. Penyadaran pentingnya meninggalkan tradisi dan kebiasaan usang bakal terus digelorakannya.
“Teror mental ini sebagai perlawanan melihat segala sesuatu dengan bijaksana. Ada kebijakan yang mungkin dulu baik tapi sekarang tak lagi cocok. Jangan itu diterapkan lagi. Perlu reinterpretasi, reposisi, dan revitalisasi,” ujarnya.
Putu mencontohkan, saat ini muncul potensi kelompok radikal yang cenderung anarkis. Kelompok ini perlu disadarkan. Mereka hidup di Indonesia yang punya karakter sangat majemuk.
“Jangan frontal dan melukai. Mereka saudara kita. Perlawanan harus dilakukan tanpa kekerasan,” kata Putu.