Main yang Lain
Semua ini tentang perjalanan yang bisa jadi kelak mengajak kita kembali ke titik yang pernah dilewati. Dalam pengembaraan waktu itu, Edwin (41), si sutradara, menemukan dirinya. Dia mendapat keasyikan ketika bermain-main di wilayah yang lain.
Nama Edwin segera menjadi perbincangan ketika naik panggung sebagai sutradara terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2017. Di dunia layar lebar komersial, nama Edwin relatif baru. Film Posesif yang mengantar dia sebagai sutradara terbaik merupakan film layar lebar komersial pertamanya.
Film itu disusul Aruna dan Lidahnya, yang juga mendapat banyak apresiasi. Kini pria kelahiran Surabaya ini tengah dikejar tenggat menyelesaikan naskah film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang diadaptasi dari novel karya Eka Kurniawan dengan judul yang sama.
Sebelum berkibar di dunia layar lebar, Edwin asyik membuat film festival dan film pendek. Atau meminjam istilah Edwin, film yang tidak lulus sensor. Setidaknya dia menghasilkan belasan film ”tak lulus sensor” seperti A Very Slow Breakfast (2002), Dajang Soembi, Perempoean Jang Dikawini Andjing (2004) Kara, Anak Sebatang Pohon (2005), Babi Buta yang Ingin Terbang (2008).
Film-film awal Edwin merupakan ekspresi bebas. Dalam pengertian, Edwin tidak terbebani harapan penonton terhadap film-filmnya. ”Bukan juga tidak memikirkan penonton, tetapi saya tidak terbebani mereka suka atau tidak. Terserah,” kata Edwin ketika berbincang di markas Palari Films di bilangan Kemang, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Akan tetapi, itu membuatnya bosan karena ada kemiripan, bahkan kesamaan gaya dalam karya-karyanya. Dia tak ingin terjebak sehingga perlu membuka kemungkinan baru dengan bermain di wilayah lain, yakni film layar lebar.
Rupanya Edwin menemukan keasyikan dengan ”mainan” barunya. Proses mempromosikan film dan berinteraksi langsung dengan penonton di kota-kota kecil adalah dua hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Ketika film tengah diputar, Edwin kerap menyelinap di antara para penonton dan menyimak reaksi mereka. Para penonton itu seolah mengajak Edwin untuk lebih jauh mengenali diri sendiri.
”Responsnya mungkin tidak seartikulatif di festival film. Mereka tidak secara jelas mengutarakan persoalan film saya apa. Tapi lain saja. Saya senang karena ternyata saya tak sendirian. Film ini menjadi bagian dari orang-orang yang saya kenal, yakni orang Indonesia. Saya menjadi bagian dari segala macam yang ada pada diri mereka. Saya mengerti harapan, persoalan mereka sebagai orang Indonesia. Itu menyenangkan,” kata penyuka gado-gado yang sering mendapat apresiasi ketika mendatangi ajang festival film di luar negeri ini.
Sinematik
Sejak belia, Edwin jatuh cinta pada keajaiban visual. Ayahnya, seorang dokter patologi klinik, turut memberi andil. Edwin kerap ikut ayahnya kerja di laboratorium meneliti kotoran manusia dan darah. Sesekali dia mengintip obyek penelitian itu lewat lensa mikroskop dan menyaksikan obyek-obyek mikro lewat lensa makro.
Kuman atau virus dalam obyek penelitian itu bergerak dan penuh warna karena diberi cairan tertentu. Edwin seolah menyaksikan sebuah adegan.
Rekaman visual di kepala Edwin itu sebangun dengan imaji gerak dalam film yang dia tonton. Ketika TK dia kerap nongkrong di persewaan film di dekat rumah kakeknya, biasanya film silat. Masuk usia SD, sering menonton film di persewaan film di dekat tempat kerja ayahnya. Kebiasaan itu terbawa sampai SMP. Kebetulan di dekat rumahnya, di Kenjeran, Surabaya, ada juga tempat sewa film.
”Tante yang punya, lucu. Cantik dia. Biasanya yang jaga rental film, kan, laki-laki, kusam, nah, ini bening. Cicik-cicik. Koleksinya, sih, enggak begitu banyak, jadi lebih banyak ngelihatin cicik-nya,” papar Edwin menjelaskan alasan dia betah nongkrong di rental film itu.
Bagi dia, film itu bentuk dan warna yang bergerak dan ada suara. Itu yang membuatnya takjub. Cerita dan dialog itu setelahnya. Poin utama menonton film adalah mengalami bentuk, warna, gerak, dan suara tadi, bukan mencoba memahami jalan cerita
Tatkala menonton film-film Hollywood, Edwin tidak membaca terjemahannya. Meskipun kala itu masih bocah. Apalagi ketika dialognya panjang. Dia terbiasa dengan rasa, suara, dan nuansa.
”Itulah mengapa anak kecil bisa ikut menangis atau tertawa tanpa tahu bahasa dalam film. Nonton film berbahasa Jepang, misalnya, anak kecil tahu kapan takut atau tertawa. Dia tidak bisa menjelaskan, tapi di poin-poin kaget dia kaget. Ada kemampuan sinema yang lintas bahasa karena yang main persepsi dan emosi.”
Ketertarikan Edwin pada film menariknya jauh ke dalam wilayah yang lebih eksistensial. Film bukan lagi sebagai hiburan, melainkan wadah keresahan dan pencarian. Diri Edwin selalu hadir dalam setiap film-filmnya.
Edwin yang berdarah Tionghoa ini lahir dan besar di dalam lingkungan sangat toleran. Meskipun Katolik, dia kerap ikut berbuka puasa bareng di rumah teman-temannya. Dia menikmati atmosfer toleransi itu. Tidak pernah ada masalah dengan ketionghoaannya.
Namun, ada beberapa hal yang merisaukan dia. Ketika hendak ujian Ebtanas, misalnya, dia diminta mengisi formulir yang terdiri dua pilihan, yakni WNI dan Pribumi. Gurunya minta dia memilih WNI, sementara teman-temannya yang Arab, India, Jawa, dan Melayu memilih opsi Pribumi. Edwin tidak dibolehkan memilih opsi Pribumi.
Dia mempertanyakan apa bedanya dia dan siswa yang lain, tetapi gurunya tidak menjawab. Dia juga diminta menyerahkan surat keterangan ganti nama untuk orangtuanya yang keturunan Tionghoa.
Edwin merasa ada perbedaan, tetapi mengapa harus dibeda-bedakan. Dia merasa kalau ada masalah, semestinya harus diselesaikan, dibicarakan, dihadapi, tidak disimpan-simpan, dan tidak dihindari. Kegelisahan inilah yang dia titipkan dalam film Babi Buta yang Ingin Terbang (2008).
Belakangan ia memaknai, sistem seperti itu sengaja diciptakan untuk memudahkan kontrol dan memanfaatkan kelompok tertentu. Ini sebentuk kekerasan negara. Kekerasan juga termanifestasi dalam banyak wajah, termasuk dalam pacaran. Untuk melawan kekerasan itu, Edwin menciptakan film Posesif (2017).
Sekarang dia tengah tenggelam menyelesaikan naskah setelah survei di daerah pantura untuk penguatan latar film layar lebar Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Di film ini, Edwin menggambarkan konstruksi sosial tentang menjadi laki-laki, yang antara lain tak boleh menangis. Padahal, banyak juga laki-laki sensitif yang kadang butuh air mata. Inilah antara lain keasyikan Edwin bermain di wilayah lain itu.
”Ini, kan, perjalanan. Masih banyak area yang bisa dipelajari. Semoga yang itu (film pendek) masih bisa dikunjungi kapan-kapan,” papar Edwin. Ia mengibaratkan, proses dirinya ”menjadi” itu tak ubahnya bentangan jalan yang bisa ditinggal dan dikunjungi.
Edwin
Lahir: Surabaya, 1978
Pendidikan: Kuliah Desain Grafis di Universitas Kristen Petra, Surabaya, lalu pindah ke Fakultas Film dan Televisi di Institut Kesenian Jakarta. (tidak lulus)
Film Panjang:
- 2018: Aruna dan Lidahnya
- 2017: POSESIF
- 2012: Postcards from The Zoo,
- 2008: Babi Buta yang Ingin Terbang/Blind Pig Who Wants to Fly
Film Sedang:
- 2013: Someone’s Wife in the boat of Someone’s Husband, Digital Project, Jeonju International Film Festival.
Film Pendek:
- 2018: Variable No.3, Asian Three-Fold Mirror: Journey, Tokyo International Film Festival.
- 2014: Hortus
- 2010: Roller Coaster
- 2009: Nairobi Notes
- 2008: Hulahoop Soundings
- 2007: Trip To The Wound
- 2006: A Very Boring Conversation
- 2005: Kara Anak Sebatang Pohon
- 2004: Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing
- 2002: A Very Slow Breakfast
Penghargaan antara lain:
- 2017: Sutradara Terbaik (Piala Citra), Festival Film Indonesia untuk film Posesif
- 2012: Edward Yang New Talent Award, 6th Asian Film Awards untuk film Postcards from The Zoo
- 2009: NETPAC Award, Taipei Golden Horse International Film Festival untuk film Babi Buta yang Ingin Terbang/Blind Pig Who Wants to Fly