Membingkai Roh Perempuan
Ada sensitivitas khas perupa perempuan dalam berkarya, kemudian dinamai oleh seorang kritikus seni, Carla Bianpoen (83), sebagai roh perempuan. Carla pun membingkai roh perempuan itu ke dalam buku dan memamerkannya.
”Ada kenyataan hidup seniman perempuan yang muram dengan karya- karya tidak muram, tetapi cerah. Itu karena ada roh perempuan yang mampu mengatasi situasi muram,” ujar Carla menjelang pembukaan pameran Indonesian Women Artists: Into The Future di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Pembukaan pameran sekaligus peluncuran buku dengan judul yang sama. Pameran berlangsung hingga 16 Maret. Di dalam buku itu, Carla menulis jejak kesenimanan 21 perempuan di bawah usia 40 tahun yang menetap di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Pameran menggelar karya seni rupa kontemporer dari 21 perupa perempuan tadi.
Ketika memasuki gedung pamer, karya Erika Ernawan (33) terpajang di situ. Sebuah instalasi seni berupa kerangka besi yang terbuka. Dua bidang ada di depan sisi kiri dan belakang sisi kanannya dilapisi papan akrilik yang diisi cetak digital lukisan bercorak abstrak. Di balik papan akrilik ada lampu tabung. Sinarnya memendarkan warna- warni corak lukisan abstraknya.
Carla sebagai kurator pameran, didampingi Citra Smara Dewi, memiliki alasan tersendiri menempatkan karya Erika ini di depan. Karya seni rupa kontemporer Erika ini diberi judul ”Ways of Seeing” mengedepankan perspektif diri untuk sebuah tatapan.
Dengan memanfaatkan efek sinar lampu tabung, Erika menawarkan pemirsanya untuk mengalami perubahan perspektif pada sebuah tatapan. Gagasan Erika mengiringi perspektif roh perempuan yang dibangun Carla.
Ramah
Sebuah instalasi seni rupa kontemporer di barisan depan berikutnya karya Irene Agrivina Widyaningrum yang berjudul ”Tajin”. Tajin, juga disebut Irene sebagai susu beras, berupa air kental hasil perebusan beras menjelang matang.
Materi estetika yang dipajang sederhana, tetapi gagasannya jauh melampaui nilai kesederhanaan itu. Irene memajang tabung-tabung kaca berisikan formulasi tajin. Satu di antaranya formulasi tajin dengan bunga bakteri/flora yang diambil dari liang vagina perempuan.
Tajin dijadikan Irene sebagai media pembentukan selulosa, bahan dasar pembentukan material kain. Dari kain ini, Irene memiliki gagasan untuk menjadikannya sebagai bahan pakaian dalam perempuan yang ramah.
”Ketika kita melihat kehidupan tentang perempuan, selain dapur, maka sandang adalah salah satu hal yang cukup penting pula,” kata Irene.
Irene bertitik tolak dari pakaian dalam perempuan yang dikembangkan selama ini. Baik proses pembuatan maupun sampah yang ditimbulkannya ternyata mengganggu keseimbangan lingkungan.
Tentu Irene mengkhawatirkan adanya produk pakaian itu yang kemudian menjadi tidak ramah perempuan. Gagasan besar Irene tentang kedekatan perempuan dengan dapur pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan pakaian dalam ramah perempuan. Tajin atau susu beras serta mikrobiota atau flora vagina menjadi jalan.
Sementara itu, Cecilia Patricia Untario menampilkan karya berjudul ”Silent 2”. Ia memajang puluhan tabung kaca bening beraneka bentuk menyerupai alat kelamin laki-laki.
Cecilia pernah menempuh studi di Italia. Ia mengenal teknik industri kaca tiup di Murano, Venesia, Italia. Kemudian ia menerapkannya untuk membentuk instalasi seni rupa kontemporer tersebut.
Gagasannya cukup sederhana. Di Indonesia dianggap masih tabu membicarakan seks untuk pendidikan.
Cecilia mencuplik pengalaman perempuan temannya di sekolah menengah pertama di Italia. Temannya itu menceritakan diajak ibunya ke dokter. Ia pun dikenalkan dengan berbagai alat kontrasepsi dan diajak untuk memilih yang cocok baginya.
”Saya rasa, contoh kasus seperti ini baru akan hadir dalam satu atau dua generasi lagi di Indonesia,” ujar Cecilia.
Seniman perempuan lainnya, Andrita Yuniza Orbandi, menghadirkan karya seni rupa kontemporer yang juga unik. Ia membuat sarang burung dari ranting pepohonan yang sangat besar. Diameternya sekitar 5 meter. Andrita memberinya judul ”Menganyam Sendi-sendi Diri”. Sarang Andrita membentuk lingkaran besar dengan sebuah cekungan yang diisi patung tubuh manusia. Tubuhnya dipenuhi bentuk kerucut seperti duri.
”Hidup hari ini seperti di belantara yang menginginkan kebebasan seperti burung yang tinggal di dalam perdamaian dan kebahagiaan,” ujar Andrita.
Bagi Andrita, hidup bertumpu pada waktu yang sama, 24 jam dalam sehari. Satu-satunya perbedaan hanyalah apa yang kita lakukan dalam sehari itu: mengontrol atau dikontrol. Andrita mengikuti kehidupan burung yang membangun sarang untuk perlindungan. Ranting- ranting pohon dianyam dan menjadi benteng perlindungan baginya.
Natasha Tontey lain lagi. Untuk karya video seni yang diberi judul ”From Pest to Power”, Natasha membangun spekulasi dengan metode quasi science fiction atau fiksi nyaris ilmiah. Video seni itu tentang konferensi kecoak. Kecoak, bagi Natasha adalah serangga yang akan terus bertahan hingga di masa ambang kepunahan ras manusia.
Kecoak bahkan mempunyai perkembangan kemampuan reproduksi tanpa proses pembuahan sel telur oleh sel jantan. Reproduksinya sangat ampuh untuk mempertahankan dan menambah populasi. Bagi Natasha, inilah ide dan kekuatan bagi masa depan manusia untuk terus mempelajari dan mengetahui tentang kecoak. Dari kecoak, manusia bisa belajar cara mempertahankan populasinya di masa depan secara ampuh.
Dengan karya ini, Natasha terinspirasi Manifesto Xenofeminism. Masa depan tidak lagi berpusat pada manusia, tetapi juga pada makhluk-makhluk lainnya. Inilah ide ekosentris.
Pameran perupa perempuan Indonesia memasuki masa depan ini benar-benar menyuguhkan ide-ide kontemporer. Karya-karya lain tak kalah menarik.
Perupa perempuan di pameran itu lainnya meliputi Ayu Arista Murti, Dita Gambiro, Elia Nurvista, Etza Meisyara, Fika Ria Santika, Kinez Riza, Maharani Mancanagara, Maradita Sutantio, Octora, Prilla Tania, Restu Ratnaningtyas, Sanchia Tryphosa Hamidjaja, Syagini Ratna Wulan, Tara Astari Kasenda, Theresia Agustina Sitompul, dan Yaya Sung.
Carla Bianpoen berujar, buku tentang seniman perempuan di Indonesia ini mengisi kekosongan. Banyak pemerhati seni di luar negeri yang membutuhkan referensi atau buku-buku tentang seniman perempuan di Indonesia.
”Pendalaman spiritual dari seniman perempuan Indonesia ternyata sangat bagus,” ujar Carla.
Carla lagi-lagi menyebut, itu semua karena roh perempuan. Carla pun berhasil membingkai roh perempuan dan menghadirkannya lewat pameran ini.