Panglima TNI: Pondok Pesantren Adalah Samudra Ilmu Pengetahuan
Pondok pesantren merupakan samudera ilmu pengetahuan. Tanpa pondok pesantren yang bisa mencipta dan melahirkan sumber daya manusia yang unggul, Indonesia tidak akan berkiprah di kancah dunia.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pondok pesantren merupakan samudra ilmu pengetahuan. Tanpa pondok pesantren yang bisa mencipta dan melahirkan sumber daya manusia yang unggul, Indonesia tidak akan berkiprah di kancah dunia.
Demikian dikatakan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam sambutannya pada acara Haul Akbar Mahaguru Al Ustadzul Imam Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih al-Alawy RA ke-58 dan Mahaguru Al Ustadzul Imam Prof Dr Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih al-Alawy RA ke-28 di Ponpes Darul Hadits Al-Faqihiyyah, Malang, Jawa Timur, Minggu (3/3/2019).
Acara haul akbar yang bersamaan dengan hari lahir pesantren ke-73 itu dihadiri puluhan ribu jamaah, santri, dan alumni dari sejumlah daerah di Indonesia dan luar negeri.
”Kita hanya akan menjadi bangsa kecil dan hanya menjadi buih di lautan. Untuk itu, pondok pesantren adalah centre of excellent bagi sumber daya manusia yang unggul,” katanya. Karena fungsinya yang penting itulah, maka Hadi menyempatkan diri berkunjung ke pesantren setiap kali melakukan kunjungan kerja ke daerah.
Menurut Hadi, sosok Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih dan Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih merupakan dua tokoh terkemuka. Mereka tidak hanya berupaya menyebarkan ilmu agama, tetapi lebih luas lagi, yaitu membina umat Islam melalui dunia pendidikan.
”Dedikasinya dalam memajukan dan mencerdaskan bangsa, khususnya umat Islam, begitu tinggi. Apabila kita melihat negeri tercinta Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, betapa luasnya wilayah ini,” ucapnya.
Melihat wilayah Indonesia yang begitu luas dengan sumber daya alam melimpah, Hadi pun mengajak semua yang hadir untuk selalu menjaga Indonesia. Persatuan dan kesatuan semua komponen bangsa penting. Hanya dengan persatuan dan kesatuan yang kokoh serta pendidikan yang maju, keinginan Indonesia jadi negara besar akan terwujud.
”Kita tidak ingin kemajuan dibangun dari perpecahan, tetapi dibangun lewat persatuan. Itulah tujuan utamanya. Perbedaan jangan menjadi kelemahan. Keanekaragaman harus menjadi kekuatan yang saling mengisi dan melengkapi,” katanya.
Sementara itu, wakil pihak keluarga, Habib Abdulrahman Bilfaqih, mengatakan, pesantren Darul Hadist Faqihiyyah didirikan sama dengan tahun kemerdekaan RI, 1945. Atas panggilan nurani dari Habib Abdul Qodir, beliau merasa pemerintah saat itu membutuhkan bantuan dan solidaritas ulama. Sebab, yang mampu membumikan ajaran Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, dengan sebaik-baiknya hanya para ulama.
”Ayahanda, Abdullah Bilfaqih, beliau menerjemahkan bersamaan dengan ulama besar NU (Nahdlatul Ulama). Beliau artikan bahwa Pancasila adalah Qul huwallahu ahad (ayat pertama Surat Al Iklas). Sila Pertama Ketuhanan yang Maha Esa adalah La ilaha illallah,” ucapnya.
Menurut Habib Abdulrahman, menjelang pemilu suasana Tanah Air kian hangat. Pihaknya menekankan bahwa Pesantren Darul Hadist Faqihiyyah netral tidak membela salah satu pasangan calon presiden. Namun, ponpes juga mengharamkan golongan putih (golput).
”Kami tidak mendukung salah satu pasangan calon, tetapi kami pun mengharamkan golput. Wajib memilih, haram golput. Siapa yang dipilih, pelajari setiap rekam jejaknya. Dibaca mana yang lebih pancasilais dan agamis, silakan dipilih, tetapi kami tidak menentukan A dan B,” katanya.