Risma dan Tembok Besar Mengasuh Pelajar Putih Abu-abu
Beberapa bulan lalu, wali murid di SMAN 5 Surabaya urunan untuk memperbaiki plafon ruang kelas yang mau ambruk. Dalam sekejap, melalui obrolan di grup media sosial Whatsapp, para wali murid berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 12 juta.
”Kami ingin memperbaiki gedung kelas agar anak-anak nyaman dan aman belajar di sekolah,” kata Lusi, salah satu wali murid, Kamis (28/2/2019), di Surabaya.
Iuran ini merupakan yang pertama kali dikeluarkan wali murid semenjak mereka menyekolahkan anaknya di Surabaya. Aksi mengumpulkan uang secara sukarela terpaksa dilakukan karena pembenahan ruang kelas tak kunjung dianggarkan oleh Pemprov Jatim sebagai pengelola SMA/SMK.
Sebelumnya, ketika kewenangan pengelolaan SMA/SMK masih berada di kabupaten/kota, orangtua murid tak pernah terbebani iuran perbaikan sekolah. Bahkan, tak ada pungutan-pungutan karena semua kebutuhan belajar-mengajar dibayarkan oleh Pemkot Surabaya menggunakan dana APBD.
Biaya sekolah benar-benar gratis, tidak hanya SPP, tetapi juga termasuk uang buat bayar listrik sekolah serta penambahan fasilitas sekolah.
Namun, dua tahun belakangan, sejak Januari 2017, penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diterapkan. Salah satunya mengatur manajemen pengelolaan SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi.
Dampak dari alih pengelolaan SMA/SMK dirasakan betul oleh wali murid, terutama di Surabaya. Sebab, sejak 2010, wali murid tidak dibebani biaya untuk sekolah anaknya. Mulai dari iuran SPP, seragam, les, makan, dan praktik disediakan oleh sekolah. Mudahnya, siswa tinggal berangkat membawa badannya ke sekolah untuk menuntut ilmu.
”Biaya sekolah benar-benar gratis, tidak hanya SPP, tetapi juga termasuk uang buat bayar listrik sekolah serta penambahan fasilitas sekolah. Saya tidak perlu menganggarkan untuk sekolah anak-anak karena benar-benar gratis,” kata Lusi.
Tak hanya soal iuran, beberapa orangtua murid SMA/SMK hingga hari ini terus meminta bantuan dana kepada Pemkot Surabaya untuk memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. Jika tidak dibantu, mereka menjadi golongan rentan putus sekolah, terutama bagi siswa SMK yang memiliki kebutuhan untuk praktik yang jumlahnya tidak sedikit.
Banyak anak SMA/SMK tidak bisa melanjutkan sekolah atau mencari kerja karena ijazah ditahan sekolah karena banyak tunggakan. Tak kurang belasan permohonan bantuan untuk keperluan sekolah masuk ke Pemkot Surabaya. Banyak juga yang dibantu oleh Pemkot Surabaya dengan mencari dana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) perusahaan.
Ketika pengelolaan SMA/SMK ditangan Pemkot Surabaya, SMK pun menggeliat karena banyak peminatnya. Kebijakan Pemkot Surabaya membiayai semua kebutuhan siswa selama sekolah, termasuk seragam, alat transportasi seperti sepeda, bahan baku praktikum, serta makan saing ketika siswa praktikum di sekolah.
Tagihan listrik yang melambung karena laboratorium banyak digunakan untuk aktivitas siswa dibiayai oleh pemkot sehingga anak-anak sangat aman dan nyaman bersekolah. Kenyamanan wali murid hanya berlangsung hingga 2017 karena pengelolaan SMA/SMK dikelola Pemprov Jatim.
Wali murid menggugat
Para wali murid tak tinggal diam melihat kondisi ini. Alih wewenang pengelolaan SMA/SMK dampaknya amat dirasakan oleh dua daerah di Jatim, yakni Surabaya dan Blitar. Kedua daerah itu sudah menggratiskan biaya sekolah dari SD, SMP, SMA/SMK sebelum aturan ini diberlakukan.
Maka, peraturan ini sempat digugat oleh sejumlah wali murid yang merasa menjadi korban dari aturan tersebut. Undang-undang itu sempat digugat Surabaya dan Blitar melalui gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Empat wali murid di Surabaya melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi karena tidak sepakat atas adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah kota kepada pemerintah provinsi terkait dengan pendidikan sebab selama dikelola pemkot biaya pendidikan gratis.
Namun, setahun berlalu sejak diajukan, gugatan itu kandas, dan sejak Januari 2017, SMA dan SMK negeri dikelola pemprov. Maka, cara ini pun tak bisa lagi ditempuh.
Tak kehabisan akal, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang amat peduli dengan masa depan anak-anak berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Risma meminta petunjuk terkait dengan peluang pengalihan kembali wewenang SMA/SMK kepada pemda.
Risma mengaku sanggup mengelola SMA/SMK di Surabaya dengan APBD yang dimiliki saat ini mencapai lebih dari Rp 9 triliun. Cukup untuk menggratiskan semua kebutuhan siswa.
”Surat jawaban dari Mendagri menyatakan bisa kembali dikelola oleh Pemkot Surabaya. Namun, pemberian kewenangan itu hanya bisa diberikan oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa,” kata Risma.
Melihat peluang itu, Risma kemudian melobi Khofifah. Hasilnya, kedua belah pihak akan membicarakan lebih lanjut soal alih kewenangan tersebut.
Karena di Surabaya itu semua kami bayar, pemeliharaan gedung itu semua kami. Misal lapangan rusak, tinggal dia (pihak sekolah) kirim surat saja. Jadi, kebutuhan sekolah itu memang mahal.
Namun, dua pekan setelah dilantik, tampaknya keinginan itu seperti jauh panggang dari api. Sinyal positif Khofifah saat pertemuan pada Minggu (11/2/2019), yang ikut dihadiri Kepala Biro Jawa Timur Kompas Agnes Swetta Pandia, kini luntur. Bahkan, judicial review pun pernah dilakukan, tetapi gagal.
Apa yang diungkap Risma dalam pertemuan sebelum Khofifah dilantik menjadi Gubernur Jatim pada pada 13 Februari 2019 di Istana Negara, Jakarta, terkait tingginya anak putus sekolah agaknya kian suram. ”Lho iku undang-undang, ojo takon aku (Itu undang-undang, jangan tanya saya). Tanyanya adalah bisa enggak ini di-JR, judicial review, ke MK (Mahkamah Konstitusi),” kata Khofifah ketika ditanya wartawan dalam satu kesempatan di Surabaya, Jumat (1/3/2019) petang.
Pernyataan itu amat bertolak belakang jika dibandingkan pertemuannya dengan Risma. Sebab, dalam pertemuan tersebut Risma mengaku Pemkot Surabaya sangat mampu mengelola SMA/SMK. Menanggapi penjelasan Risma, Khofifah menyatakan dirinya akan melihat aturan karena itu terkait dengan undang-undang, termasuk surat Mendagri.
Memang, Risma menyebutkan bahwa gugatan wali murid ke MK kandas. Namun, Pemkot Surabaya mencari upaya agar tetap bisa mengelola SMA/SMK dengan menyurati Menteri Dalam Negeri, dan Mendagri telah mengeluarkan surat bahwa kewenangan mengembalikan pengelolaan ke kota/kabupaten sangat tergantung dari gubernur. ”Pemkot Surabaya siap membiayai semua kebutuhan siswa SD, SMP, SMA/SMK, semua ini dilakukan agar anak putus sekolah di Surabaya bisa ditekan,” kata Risma.
Risma menyatakan siap mengelola kembali SMA/SMK mengingat sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) tahunan APBD Pemkot Surabaya cukup untuk mengurus SMA/MA/SMK. ”Sisa anggaran Surabaya mencapai Rp 1 triliun,” kata ibu dari dua anak ini.
Kini, harapan untuk memberikan pendidikan gratis semakin tipis. Namun, bagi Risma, upaya terus dilakukan. Meskipun tahun ini pungutan SPP di SMA/SMK negeri sesuai pernyataan Khofifah saat pesta rakyat penyambutan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim di gedung negara Grahadi pada Kamis (14/2/2019) malam akan gratis.
Tidak hanya SPP
Hal ini tidak menyurutkan niat Risma kembali mengelola SMA/SMK. Alasannya, ketika SMA/SMK dikelola oleh Pemkot Surabaya, SPP tidak hanya digratiskan. Namun, ada beberapa poin penunjang pendidikan yang juga ditanggung oleh Pemkot Surabaya, seperti infrastruktur yang mewadahi, laboratorium, praktikum, dan berbagai kompetensi gratis untuk mendukung pendidikan para pelajar. ”Pendidikan itu bukan hanya (tentang) SPP aja. Kalau di Surabaya, listrik, air, dan internet sekolah itu kami bayar semua,” kata Risma.
Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini menuturkan, pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam stimulus penunjang perubahan masa depan. Melalui pendidikan, seseorang bisa mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, juga harus ditopang dengan sistem pengelolaan pendidikan yang baik pada suatu daerah. ”Kalau dulu SMK itu dikasih makan siang, uang praktikum, insentif untuk guru, bahkan seragam,” ujarnya.
Menurut dia, hal itu sebagai komitmen dari Pemkot Surabaya dalam mewujudkan sistem pengelolaan pendidikan yang komprehensif di Kota Pahlawan sehingga dulu pelajar SMA/SMK di Surabaya hanya dituntut untuk fokus belajar tanpa perlu memikirkan kebutuhan biaya untuk pendidikan mereka. Itu karena Pemkot Surabaya sudah memberikan berbagai fasilitas gratis untuk menunjang mereka agar hanya fokus mengenyam pendidikan.
”Karena, di Surabaya itu semua kami bayar, pemeliharaan gedung itu semua kami. Misal lapangan rusak, tinggal dia (pihak sekolah) kirim surat saja. Jadi, kebutuhan sekolah itu memang mahal,” tutur wali kota yang juga menjabat sebagai Presiden United Cities Local And Government (UCLG) Asia Pacifik (Aspac) ini.
Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya Ikhsan mengatakan, dulu anggaran yang disediakan oleh Pemkot Surabaya untuk mengelola 272 lembaga SMA/MA/SMK (data profilsekolah.dispendik.surabaya.go.id 2016), baik negeri maupun swasta, diperuntukkan bagi banyak hal.
”Seperti untuk peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan, peningkatan kompetensi siswa, peningkatan kualitas sekolah atau lembaga pendidikan, untuk peningkatan sekolah terhadap kurikulum, persiapan dan pelaksanaan ujian nasional (UN), hingga menyediakan layanan pendidikan yang bermutu,” kata Ikhsan.
Pendidikan SMA/MA/SMK di Surabaya, lanjut Ikhsan, juga ditunjang dengan peningkatan kompetensi siswa, seperti program pemberian sertifikasi profesi bagi siswa SMK agar siap kerja. Kemudian juga ada tambahan makan siang gratis bagi siswa SMK yang melaksanakan praktik hingga sore di sekolah.
”Bahkan, untuk siswa SMA, pemkot juga memberikan pelatihan softskill gratis di berbagai bidang, seperti culinary, desain grafis, fotografi, programmer, penyiar radio, hingga broadcasting,” ujarnya.
Ia menyebutkan, perhatian terhadap peningkatan kualitas sekolah atau lembaga pendidikan dengan memberikan bantuan operasional pendidikan daerah (bopda) juga dinilai penting agar dimaksimalkan untuk membayar berbagai kebutuhan penunjang fasilitas sekolah. seperti listrik, internet, hingga pemberian honor kepada guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) yang mengacu ke standar UMK.
”Bahkan, dulu Pemkot Surabaya juga memberikan honor bagi tenaga inklusi di SMA/SMK penyelenggara pendidikan inklusi, pemberian tunjangan kinerja guru PNS, tunjangan fungsional guru swasta, honor tenaga SMA terbuka, hingga pelatihan-pelatihan peningkatan kompetensi bagi tenaga pendidik,” katanya.
Untuk peningkatan sekolah terhadap kurikulum, berbagai kegiatan digelar rutin, di antaranya penyusunan dokumen kurikulum SMA dan SMK, workshop analisis kesejajaran KI dan KD SMA dan SMK, workshop penyusunan perangkat pembelajaran bagi SMA dan SMK, workshop penyusunan modul pembelajaran SMA dan SMK, workshop pengelolaan laboratorium IPA SMA, serta pelatihan penilaian otentik SMA dan SMK.
Di sisi lain, Ikhsan mengungkapkan, Pemkot Surabaya juga memberikan pembinaan akademis dan non-akademis untuk siswa SMA-SMK, yang bersifat gratis. Itu meliputi lomba debat bahasa Indonesia dan bahas Inggris untuk akademis. Sementara non-akademis, dalam bentuk pelatihan kepemimpinan dan nasionalisme siswa (PMI, PMR, LDKS, kongres pelajar).
Terlebih, ada juga penguatan peran OSIS se-Kota Surabaya melalui Organisasi Pelajar Siswa (Orpes) SMA/SMK yang difasilitasi oleh Pemkot Surabaya secara gratis melalui kegiatan hari bumi, kegiatan sosial, dan sebagainya. ”Pemkot Surabaya juga menyediakan layanan pendidikan bermutu dengan memberikan beasiswa pelayaran, keperawatan, teknik PAL, dan lain-lain,” pungkas Ikhsan.