Selamat dari Kejenuhan
Perhelatan BNI Java Jazz Festival 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, sepanjang Jumat dan Sabtu (2/3/2019) menyuguhkan beragam ”keluarga jazz”. Tak sedikit penampil yang memainkan bentuk turunan baru jazz. Di tangan mereka, bisa jadi, jazz selamat dari kejenuhan.
Salah satu yang paling ditunggu adalah H.E.R. Penyanyi belia, berumur 21 tahun asal California, Amerika Serikat, yang baru saja menyabet dua Grammy ini tampil di ajang special show pada hari pertama. H.E.R adalah peraih Grammy untuk Best R & B Performance dan Best R & B Album.
Betul, H.E.R menang di kategori genre R & B, bukan jazz. Tapi tak apa, selalu ada ruang bagi corak musik lain melebur dalam jazz. Itu justru membuat jazz begitu lentur pada kebaruan. BNI Java Jazz Festival 2019 —selanjutnya disebut JJF—menyuguhkan corak kebaruan itu.
R & B (Rhythm & Blues) adalah genre yang menggabungkan jazz, gospel, serta rhythm dan blues. R & B lebih menitikberatkan pada kualitas vokal, lirik, dan alunan musik yang lebih santai dan relatif bisa dinikmati semua kalangan.
Semua itu tersimak pada penampilan H.E.R pada hari pertama, Jumat (1/3). Vokalnya yang penuh tenaga menjangkau nada-nada rendah hingga tinggi tanpa kesulitan dengan cengkoknya yang indah.
Kadang, dia terdengar sedikit seperti Alicia Keys, kadang seperti Lauryn Hill, dua penyanyi yang menjadi inspirasinya. Tak sama persis, hanya mirip. Kombinasi itu menjadikan suaranya tersimak unik, selain tentu saja enak didengar.
Malahan tak hanya menyanyi, H.E.R juga memainkan berbagai alat musik: gitar elektrik, gitar akustik, bas, kibor, hingga drum. Aksi panggungnya selama hampir dua jam jadi amat memukau.
Dalam wawancara di Hotel Borobudur, Jumat siang, H.E.R menjanjikan penampilan perdananya di Indonesia ini istimewa. ”Aku belum pernah ke Jakarta. Tak ada satu orang pun di sini yang pernah menyaksikan penampilanku. Jadi, mudah-mudahan semua akan suka,” katanya.
Sebelum muncul di panggung, penonton lebih dulu disuguhi rekaman suara singkat berisi wawancara H.E.R saat dia berusia 10 tahun. Kalimat H.E.R yang mengungkapkan impiannya menjadi seorang penyanyi dan musisi mengantar kemunculannya di panggung.
Begitu siluetnya muncul, dengan rambut panjang berombak yang bergerak-gerak dinamis mengikuti langkah kakinya, serta tubuh yang berselempang gitar, penonton yang mayoritas berusia muda, sontak berteriak histeris. Begitu ”Carried Away” mengalun, penonton berlarian ke depan panggung meninggalkan kursi tempat mereka duduk.
”Jakarta how’s your feeling tonight?” lontarnya kepada penonton. H.E.R lalu berganti-ganti memainkan bas, kibor, hingga drum. Penonton jelas terkesima dengan aksi penuh energi itu.
H.E.R memanaskan panggung tanpa jeda. Lagu-lagunya mengalir tanpa henti. ”Be on My Way”, ”Losing”, ”Against Me”, ”Could’ve Been”, dan masih banyak lagi. Di lagu ”Light On”, dia meminta penonton menyalakan ponsel dan mengacungkannya ke udara.
Sebelum menutup aksinya pukul 21.54, H.E.R menuruti permintaan penonton dengan lagu encore, ”As I Am”. Banyak penonton masih berdiri di depan panggung saat panggung menggelap. Sebagian penonton keluar ruangan dengan wajah riang seraya menyanyikan potongan lirik ”As I am”.
Rasa santai
Di panggung lainnya, hampir bersamaan dengan H.E.R, tampil trio GoGo Penguin asal Manchester, Inggris. Seluruh repertoar dalam pertunjukan pertama mereka di Jakarta itu merupakan karya orisinal. Trio ini terdiri dari Chris Illington (piano), Nick Black (double bass), dan Rob Turner (drum). Mereka tak punya vokalis.
Meski begitu, lagu-lagu instrumentalia mereka amat memukau. Permainan drum Rob terdengar presisi. Ketukan dan pukulannya seperti mesin drum yang jamak dipakai musisi elektronik. Namun, Rob tak memakai perangkat itu. Sebagai bandingan, gaya mainnya pantas disandingkan dengan pukulan Phillip Selway di katalog lagu Radiohead di era sejak album Kid A (2000).
Nomor ”Strid” menjadi bukti kuat betapa drum sebagai tulang punggung musik mereka. Variasi pukulan yang terdengar elektronika tapi bukan itu terbalut bunyi bas akustik. Pilihan nada Nick, sang basis, tergolong liar. Jemari tangan kanannya tak henti menjelajahi seluruh ruas leher bas. Sering dia menggeser jemarinya sehingga nadanya seperti ”bengkok”.
Permainan piano Chris terdengar lebih kalem. Dia seperti bertugas menjadi penyerang yang elegan dalam skema strategi bermusik band yang terbentuk sejak 2012 ini. Chris sering membunyikan nada yang monoton berulang-ulang. Pengaruh Phillip Glass sangat terasa pada pilihan nadanya.
Dengan racikan sedemikian, mereka kerap diasosiasikan dengan nama-nama dari kancah trip-hop seperti Aphex Twin ataupun Massive Attack. Namun, mereka juga layak bermain sepanggung dengan band post-rock seperti Mogwai.
Lalu apakah mereka cukup jazz sehingga hingga mendapat jatah dua kali tampil di JJF? Kalau menyimak nada piano pada lagu ”Transiate State” atau ”Hopopono”, mereka tak salah tempat.
Nuansa serupa juga terasa lewat penampilan trio Moonchild yang main pada Jumat dan Sabtu. Grup multiinstrumentalist asal Los Angeles, AS, yang terdiri dari Amber Navan, Max Bryk, dan Andris Mattson ini meracik alunan jazz dengan soul yang terdengar santai dan sedikit melenakan.
Sepertinya, corak seperti inilah yang digemari kaum muda masa kini. Ini jika ditilik dari penonton mereka Jumat malam. Bebunyian mereka berasal dari drum, synthesizer, kibor, juga saksofon. Bolehlah menganggap corak musik ini merupakan pengembangan dari lagu-lagu yang pernah dipopulerkan penyanyi Sade.
Label mereka, Tru-Thoughts Records, menyebutkan, musik Moonchild adalah ”santapan bagi jiwa”. Klaim itu tak salah. Simak saja nomor pamungkas mereka malam itu, ”Cure” dari album Voyagers (2017); pelan tetapi melarutkan.
Musik tradisi
Rupa jazz masa kini juga turut diwarnai oleh gitaris Dewa Budjana. Lewat album teranyarnya, Mahandini, Budjana mencampur rasa progresif rock dan jazz dengan nuansa musik tradisi, antara lain lewat tiupan suling Saat Syah dan tarikan vokal Soimah di lagu ”Hyang Giri”. Pada tembang ”Gangga”, nuansa musik tradisi India yang mengemuka.
Budjana, yang telah belasan kali manggung di JJF, seperti memberi ruang seluasnya bagi musisi muda yang mengiringinya. Ada Shadu Shah (30), yang beradu bas dengan ”bocah genius” asal India, Mohini Dey (22). Ada juga Yandi Anda Putra (22) pada drum dan Martin Siahaan (28) di kibor. Sangat menarik.
Wujud musik kontemporer rasa jazz semacam itu masih akan tersaji hingga gelaran JJF 2019 usai pada Minggu (3/3). Pada hari terakhir ini, selain menanti penampilan spesial band rock Toto, penonton bisa menyempatkan untuk menyambangi panggung Funky Knuckles, Airport Radio dari Yogyakarta, atau R+R=Now. Dapat menyelamatkan jazz dari kejenuhan. Sedap!