Babak Baru Hubungan Indonesia-Australia
JAKARTA, KOMPAS — Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Australia (IA-CEPA) akhirnya ditandatangani pada Senin (4/3/2019), di Jakarta. Melalui IA-CEPA, hubungan ekonomi Indonesia-Australia tidak hanya perdagangan barang, jasa, dan investasi, tetapi juga terkait pengembangan sumber daya manusia.
”Hari ini merupakan tonggak sejarah bagi Indonesia dan Australia setelah berunding selama sembilan tahun melalui 12 putaran negosiasi. Saya harap, kemitraan itu dapat membawa kedua negara tumbuh bersama dalam meningkatkan kemakmuran,” kata Menteri Perdagangan Republik Indonesia Enggartiasto Lukita.
Penandatanganan IA-CEPA dilakukan Enggartiasto dengan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham. Penandatanganan tersebut disaksikan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Dalam kesempatan itu, hadir juga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani, dan Chief Executive of the Australian Group Innes Willox.
Setelah penandatanganan itu, IA-CEPA belum akan berlaku efektif. IA-CEPA akan diratifikasi terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah ratifikasi selesai, naskah perjanjian akan dipertukarkan melalui nota diplomatik yang menginformasikan seluruh persyaratan pemberlakuan persetujuan tersebut telah dilaksanakan.
Setelah itu, IA-CEPA secara resmi dapat dipublikasikan isinya secara luas dan dimanfaatkan oleh semua pihak. ”Pemerintah RI siap bekerja bersama DPR dalam proses ratifikasi. Harapannya, pada akhir tahun ini sudah diratifikasi. Artinya, perjanjian itu akan mulai berlaku pada akhir tahun atau awal tahun 2020,” tutur Enggartiasto.
Sementara itu, pemerintah juga terus menyosialisasikan keuntungan IA-CEPA kepada publik, termasuk pelaku usaha dan asosiasi di berbagai sektor agar memanfaatkan perjanjian itu untuk kepentingan ekonomi secara luas. Diharapkan, peningkatan ekspor dan penguatan daya saing dapat terwujud dengan ditandatanganinya IA-CEPA.
Menurut Enggartiasto, sejauh ini hubungan perdagangan Indonesia-Australia sudah berjalan baik, tetapi belum cukup besar. Dari total impor Australia, Indonesia hanya menyumbang 1,2 persen, demikian juga dari total impor Indonesia, Australia hanya menyumbang 3,1 persen.
”Tak hanya itu, melalui kemitraan itu juga diharapkan nilai perdagangan antara Indonesia dan Australia dapat membaik. Saat ini, Australia merupakan negara tujuan ekspor nonmigas ke-17 dan negara sumber impor nonmigas ke-8 bagi Indonesia,” ujarnya.
Melalui kemitraan itu juga diharapkan nilai perdagangan antara Indonesia dan Australia dapat membaik.
Kementerian Perdagangan mencatat, dari perdagangan antarkedua negara pada 2018, Indonesia defisit sebesar 3 miliar dollar AS. Total perdagangan mencapai 8,6 miliar dollar AS, dengan ekspor Indonesia tercatat senilai 2,8 miliar dollar AS dan impor sebesar 5,8 miliar dollar AS.
Badan Pusat Statistik pun mencatat, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Australia pada Januari 2019 defisit sebesar 208 juta dollar AS atau turun 16,85 persen dibandingkan tahun lalu.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Solusi Jangka Panjang
Guna meningkatkan nilai perdagangan, 100 persen tarif Australia akan dihapuskan, sementara 94 persen tarif Indonesia akan dihapuskan secara bertahap. Mayoritas sektor industri di kedua negara yang akan diuntungkan melalui penghapusan tarif adalah otomotif, tekstil, alas kaki, agribisnis, makanan dan olahan, serta furnitur.
Menurut Enggartiasto, produk-produk Indonesia yang berpotensi meningkat ekspornya ialah produk otomotif, khususnya mobil listrik dan hibrida. Dalam hal ini, IA-CEPA memberikan persyaratan kualifikasi konten lokal (QVC) yang lebih mudah untuk kendaraan listrik dan hibrida asal Indonesia dibandingkan negara lain.
Australia tidak memiliki industri otomotif nasional sehingga tidak ada hambatan dari pesaing lokal. Sementara pesaing di ASEAN untuk produk otomotif datang dari Malaysia dan Thailand yang juga telah mendapat penghapusan tarif menjadi nol persen.
”Dengan adanya penghapusan tarif, kami berharap otomotif akan menjadi andalan ekspor RI di Australia. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian pun telah bertemu dengan para produsen kendaraan, asosiasi, dan para pelaku usaha untuk dapat memanfaatkan peluang di pasar Australia,” ujar Enggartiasto.
Peluang sektor jasa
Tak hanya perdagangan barang, di sektor perdagangan jasa, Indonesia juga akan mendapatkan akses pasar perdagangan jasa di Australia, antara lain kenaikan kuota visa kerja dan liburan, yaitu dari 1.000 visa menjadi 4.100 visa pada tahun pertama implementasi IA-CEPA dan akan meningkat 5 persen per tahun hingga mencapai 5.000 orang setiap tahun.
Untuk itu, Enggartiasto mendorong anak muda yang berusia 18 tahun hingga 30 tahun untuk mengambil kesempatan ini. Sebab, selain mendapat pengalaman tinggal selama satu tahun, visa ini juga memberikan kesempatan untuk bekerja di Australia.
Simon pun menyambut baik kesempatan itu. Ia menyampaikan, dalam sektor perdagangan jasa, Australia juga akan menyediakan bantuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, komunikasi, serta perbankan yang dapat meningkatkan peluang kerja bagi generasi muda Indonesia di masa depan.
Baca juga: Perang Tawar-menawar Antarnegara
”Misalnya, kami akan memberikan pelatihan dari para ahli bagi pebisnis Indonesia agar dapat meningkatkan daya tarik investor asing untuk menanamkan modalnya sehingga kembali membuka peluang lapangan kerja,” katanya.
Australia juga akan menyediakan bantuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, komunikasi, serta perbankan yang dapat meningkatkan peluang kerja bagi generasi muda Indonesia di masa depan.
Kemitraan itu juga diarahkan untuk membentuk economic powerhouse di kawasan, yaitu dengan mengolaborasikan kekuatan ekonomi kedua negara. Kolaborasi itu untuk mendorong produktivitas produk industri dan pertanian, serta meningkatkan ekspor ke negara lain.
Dalam hal tersebut, kedua negara juga dapat berkontribusi lebih besar dalam rantai pasok global. Indonesia diproyeksikan menjadi pusat pengolahan, dengan kemudahan akses berbagai bahan baku dan penolong dari Australia. Misalnya, impor gandum bagi industri makanan olahan seperti pasta.
Sejalan dengan ini, Rosan menyebutkan, kemudahan akses bagi pelaku usaha untuk mendapatkan bahan baku produksi menjadi peluang meningkatkan kualitas dan kapasitasnya.
”Kami targetkan, melalui kemitraan ini, nilai perdagangan antarkedua negara dapat meningkat 17 hingga 18 persen per tahun serta nilai investasi dapat lebih dari 600 juta dollar AS atau lebih dari Rp 8,49 triliun,” katanya. (SHARON PATRICIA)