Bencana Masih Mengancam Sulawesi Selatan
GOWA, KOMPAS – Banjir dan longsor masih mengancam Sulawesi Selatan usai bencana tersebut melanda 22 Januari silam. Sisa material longsoran kaldera Gunung Bawakaraeng yang runtuh pada 2004 dan kerusakan lingkungan di bagian hulu Sungai Jeneberang dapat menjadi bom waktu bencana jika cuaca ekstrem kembali terjadi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut banjir dan tanah longsor yang terjadi di Sulsel pada 22 Januari 2019 menyebabkan 79 korban tewas, lebih dari 22.000 rumah terendam, dan sebanyak 9.429 warga mengungsi. Lebih dari separuh daerah di Sulsel terkena dampak. Bencana hidrometeorologi tersebut melanda Kabupaten Gowa, Jeneponto, Maros, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Selayar, Sidrap, Sinjai, Soppeng, Takalar, Wajo, Bantaeng, Barru, dan Kota Makassar. Daerah yang terdampak paling parah adalah Kabupaten Gowa, Jeneponto, Maros, Takalar, dan Kota Makassar.
Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), terdapat 300 juta meter kubik material tanah, pasir, dan batu yang diperkirakan lepas saat dinding kaldera Bawakaraeng runtuh pada 26 Maret 2004. Dari jumlah itu, setidaknya 210 juta meter kubik rontok ke Sungai Jeneberang.
Dari seluruh material yang rontok ke sungai, terdapat 130 juta meter kubik yang berada di sekitar DAS Jeneberang dan sebanyak 80 juta meter kubik mengendap masuk ke Bendungan Bili-bili. Dengan kata lain, masih terdapat sekitar 90 juta meter kubik material longsoran yang tertahan di lereng Gunung Bawakaraeng dan dapat sewaktu-waktu menggelontor ke Sungai Jeneberang ketika hujan deras mengguyur.
Penelusuran Kompas, Senin (4/2/2019), ke Danau Tanralili di Gunung Bawakaraeng yang menjadi hulu Sungai Jeneberang, menemukan banyak jalur pendakian yang rusak tertimpa longsoran karena tebing gunung ambruk. Sebagian jalur pendakian berupa tanah labil sehingga mudah ambles saat diinjak atau terkikis air.
Baca juga : 18 Orang Tertimbun Belum Ditemukan
Kepala Laboratorium Daerah Aliran Sungai Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Usman Arsyad mengungkapkan, bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor masih berpeluang kembali terjadi di Sulsel jika masalah di DAS Jeneberang tidak kunjung ditangani. Apalagi, material longsoran kaldera Bawakaraeng masih ada yang tertahan. Sebagian tanah di gunung itu dalam kondisi labil.
“Bisa dikatakan bencana ini masih mengintai mengingat kondisi Jeneberang di bagian hulu yang kritis. Tanah di Bawakaraeng pun sangat labil,” ujar Usman, saat ditemui di Fakultas Kehutanan Unhas, Kota Makassar, Rabu (6/2/2019).
Usman menambahkan, kondisi hulu yang kritis memicu pesatnya debit air Sungai Jeneberang saat curah hujan tinggi karena daya serap tanah di area DAS yang rendah. Minimnya area tutupan lahan membuat kondisi tanah menjadi jenuh sehingga air hujan langsung melimpah ke aliran sungai.
Kepala Bidang Perencanaan Umum dan Program BBWS Pompengan-Jeneberang Hasrawati Rahim mengungkapkan, pada akhir 2018, total sedimen yang mengendap di Bendungan Bili-bili mencapai 112 juta meter kubik atau setara dengan 32 persen dari volume tampungan efektif Bendungan Bili-bili yang sebesar 346 juta meter kubik. Artinya, sepertiga dari total kapasitas tampung Bendungan Bili-bili sudah terisi sedimen.
Banjir bandang dan longsor bisa kembali terjadi pada saat musim hujan apabila kondisi DAS Jeneberang yang kritis tidak segera dipulihkan
Sedimen tersebut antara lain berasal dari material longsoran kaldera Bawakaraeng dan erosi lahan di bagian hulu di dataran tinggi Malino. Sedimen yang menggelontor ke sungai tersebut berpotensi mengendap masuk ke Bili-bili jika sabo dam tidak berfungsi maksimal. Terdapat 29 sabo dam di hulu Bili-bili, tetapi 4 di antaranya dalam kondisi rusak. Sabo dam adalah bangunan dam yang berfungsi sebagai pengendali sedimen sungai.
Sedimentasi
Hasrawati menjelaskan, tingkat sedimentasi yang mencapai 112 juta meter kubik itu hampir empat kali lipat dari desain awal total tampungan sedimentasi Bendungan Bili-bili sebesar 29 juta meter kubik. Pada desain awal, total tampungan sedimentasi sebesar 29 juta meter kubik tersebut diperkirakan baru akan tercapai dalam 50 tahun sejak bendungan mulai beroperasi tahun 1999. Namun, baru 20 tahun berlalu, sedimen yang mengendap sudah jauh melebihi desain awal.
Tumpukan sedimen di dasar Bendungan Bili-bili itu mencapai 60 meter pada akhir 2018. Jumlah tersebut sudah lebih dari setengah batas tinggi maksimal elevasi air Bendungan Bili-bili di angka 106 meter. Tinggi sedimentasi yang mencapai 60 meter itu sedikit lagi melebihi batas maksimal yakni di angka 65 meter.
Menurut Hasrawati, saat tingkat sedimentasi mencapai 65 meter, pintu air Bili-bili tidak dapat beroperasi lagi, karena terhambat sedimen yang sudah terlalu penuh. Akibatnya, Bendungan Bili-bili tak dapat berfungsi normal. Selain sebagai pengendali banjir, Bili-bili juga berfungsi sebagai penyalur air irigasi, air baku, dan penggerak turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA). “Kalau pintunya sudah tidak bisa beroperasi, maka fungsinya bisa tidak berjalan,” ujar Hasrawati, saat ditemui di Kota Makassar, Rabu (6/2/2019).
Padahal, Bendungan Bili-bili mengaliri dua bendungan lainnya yakni Bissua dan Kampili untuk pengairan irigasi sawah seluas 23.690 hektar di Kabupaten Gowa. Bendungan Bili-bili juga dimanfaatkan untuk pengoperasian PLTA dengan produksi listrik 20,1 MW guna menerangi sebagian Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Bili-bili juga menjadi pemasok air baku ke Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar dan Kabupaten Gowa dengan produksi 3.300 liter per detik.
Alih fungsi
Menurut Usman, untuk mengatasi sedimentasi di Bili-bili harus dimulai dari penanganan di hulu Jeneberang. yang rusak akibat minimnya tutupan hutan yang seharusnya berfungsi sebagai area resapan air. Hutan itu beralih fungsi menjadi lahan pertanian hortikultura, permukiman, dan bangunan vila.
Tambang pasir yang masif dan tak sesuai kaidah penambangan turut memperparah sedimentasi di badan Sungai Jeneberang dan Bendungan Bili-bili. Di bagian hilir, delta sungai yang terbentuk dari sedimen hasil erosi di bagian hulu digunakan untuk permukiman dan perkebunan.
Kondisi tersebut dipertegas data Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan tahun 2018 yang menunjukkan bahwa areal hutan hanya tersisa 16,92 persen dari total 78.842 hektar luas DAS Jeneberang. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebanyak 30 persen dari luas daerah aliran sungai harus tertutup hutan.
“Daerah resapan air di DAS Jeneberang ini sudah sedikit sekali. Kalau daerah resapan air sudah tidak berfungsi maka yang terjadi adalah erosi. Air lebih cepat datang dari atas ke bawah,” kata Al Amien.
Baca juga : Degradasi Lingkungan Perlu Diantisipasi
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengungkapkan, wilayah hulu dari DAS Jeneberang sudah dalam titik kritis, dipicu oleh alih fungsi lahan. “Daerah aliran sungai harus dilihat secara utuh sebagai lanskap. Banjir (kemarin) ini penyebab utamanya di daerah hulu,” kata Siti Nurbaya, kepada wartawan, saat meninjau Sungai Jeneberang, di Kecamatan Parang Loe, Kabupaten Gowa, Sulsel, Jumat (1/2/2019).
Merujuk data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulsel pada 2018, dari 3.500 hektar total luas kawasan konservasi di Taman Wisata Alam (TWA) Malino, 72 persen di antaranya telah beralih fungsi menjadi pertanian hortikultura dan permukiman. TWA Malino dijadikan kawasan konservasi sejak 1991.
Beberapa tahun terakhir Jeneberang sudah menjadi DAS super kritis. Untuk itu, kami bikin tim untuk menangani ini, melibatkan semua, termasuk masyarakat
Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengakui, DAS Jeneberang saat ini dalam kondisi sangat kritis. Nurdin yang pernah mengenyam pendidikan doktoral agrikultur di Universitas Kyushu Jepang dapat dengan mudah mengidentifikasi kondisi hulu Sungai Jeneberang dengan melihat warna air sungai yang keruh. Warna yang keruh mengindikasikan adanya sedimen yang turut terseret masuk ke air karena hilangnya area resapan air.
Menurut Nurdin, untuk mencegah bencana banjir dan longsor berulang di kawasan DAS Jeneberang maka daerah konservasi harus dijaga. Untuk itu, dia telah membentuk tim yang melibatkan seluruh pemerintah daerah, kepolisian, TNI, kejaksaan, akademisi, hingga warga setempat.
“Beberapa tahun terakhir (Jeneberang) sudah menjadi DAS super kritis. Untuk itu, kami bikin tim untuk menangani ini, melibatkan semua, termasuk masyarakat,” ujar Nurdin, saat ditemui di rumah jabatan Gubernur Sulsel di Kota Makassar, Rabu (6/2/2019).
Cuaca ekstrem
Selain kondisi DAS Jeneberang yang kritis dan sisa longsoran kaldera Bawakaraeng yang berpotensi meluncur ke badan sungai, banjir dan longsor yang terjadi di Sulsel pada 22 Januari silam juga disebabkan curah hujan ekstrem yang mencapai lebih dari 300 milimeter per hari.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, curah hujan ekstrem terjadi pada Selasa (22/1/2019), yakni 308 milimeter/hari di Pos Curah Hujan Bawakaraeng, 329 mm/hari di Stasiun Lengkese, dan 234 mm/hari di Pos Konsolidasi Dam di Hulu Jeneberang. Curah hujan dikatakan ekstrem jika melampaui 150 mm/hari. Luapan Sungai Jeneberang akan berdampak pada banjir di Gowa, Takalar, dan Kota Makassar.
Kepala Subbidang Prediksi Cuaca BMKG Agie Wandala Putra menjelaskan, kombinasi beberapa faktor telah memicu curah hujan ekstrem. Penyebab utamanya ialah pergerakan Madden-Julian Oscillation (MJO) fase basah di atas perairan Indonesia. MJO ialah aliran massa udara di garis khatulistiwa yang membawa musim hujan.
Curah hujan ekstrem itu tidak bisa disalahkan. Kondisi DAS Jeneberang ini sudah kritis dan memerlukan penanganan yang serius supaya ke depan tidak dihadapkan pada kondisi yang lebih buruk
Pada saat yang sama, monsoon dingin mengalir dari Laut China Selatan dan ada area konvergensi atau pusat tekanan rendah di Australia. Hal ini juga membawa awan hujan ke Sulsel.
Faktor lain ialah pertumbuhan awan konvektif supersel besar dipicu area sumbu arus angin pasat di garis tropis. Ketiga fenomena ini tidak umum terjadi. Sebab, rata-rata curah hujan pada musim hujan di Sulsel berkisar 50 milimeter-100 milimeter per hari. Selain pada Januari 2019, Sulsel pernah dilanda banjir besar pada 1976 dan 1998. Namun, dari segi cakupan wilayah terdampak dan jumlah korban jiwa, banjir dan longsor kali ini merupakan yang terparah.
Baca juga : Kombinasi Cuaca Ekstrem dan Perubahan Iklim
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Adi Maulana, menilai, curah hujan ekstrem yang terjadi di Sulsel tidak akan berdampak pada bencana yang begitu besar jika DAS Jeneberang dalam kondisi baik. Tanpa ada penanganan secara menyeluruh, bencana serupa berpotensi terulang.
“Curah hujan ekstrem itu tidak bisa disalahkan. Kondisi DAS Jeneberang ini sudah kritis dan memerlukan penanganan yang serius supaya ke depan tidak dihadapkan pada kondisi yang lebih buruk,” tutur Adi.
Sebagai perbandingan, pada 27 Januari 2019, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, dan Kota Pekalongan (Jawa Tengah) juga terendam banjir setelah dilanda curah hujan ekstrem. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Semarang, curah hujan yang tercatat di Pos Hujan Kandeman Kabupaten Batang mencapai 338 mm per hari dan curah hujan di Pos Hujan Gamer Pekalongan mencapai 309 mm per hari.
Hujan lebat yang terus menerus mengguyur Jawa Tengah membuat beberapa sungai di Batang dan Pekalongan meluap. Namun, dampak dari curah hujan ekstrem itu tidak separah di Sulawesi Selatan. Meskipun lebih dari 4.000 orang mengungsi tetapi tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.
(DIMAS WARADITYA NUGRAHA/RENY SRI AYU)