YOGYAKARTA, KOMPAS – Menjelang pemilu serentak pada April 2019, ribuan warga memutuskan untuk pindah memilih ke wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga pertengahan Februari lalu, tercatat ada 14.652 pemilih dari luar daerah yang memutuskan untuk pindah memilih di DIY. Jumlah itu dipastikan terus bertambah karena pendaftaran pemilih tambahan masih dibuka hingga pertengahan Maret.
“Untuk tahap pertama atau sampai 18 Februari kemarin, jumlah pemilih tambahan yang masuk 14.652 orang,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY Hamdan Kurniawan saat dihubungi dari Yogyakarta, Senin (4/3/2019).
Hamdan memaparkan, pemilih tambahan sebanyak 14.652 orang itu telah dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) Pemilu 2019 di DIY. Dari total jumlah pemilihan tersebut, sebanyak 3.350 orang merupakan pemilih tambahan di Kota Yogyakarta, 4.054 orang di Kabupaten Sleman, 796 orang di Gunung Kidul, 5.757 di Bantul, dan 695 orang di Kulon Progo.
Di sisi lain, ada juga 2.246 pemilih di DIY yang pindah ke daerah lain. Sementara itu, jumlah pemilih yang sebelumnya telah masuk ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) hasil perbaikan kedua di DIY sebanyak 2.731.874 orang.
Sebagian besar pemilih tambahan itu merupakan mahasiswa dari luar daerah yang tengah menempuh studi di DIY. Hamdan mencontohkan, dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), hingga pertengahan Februari lalu, tercatat sekitar 1.000 mahasiswa luar daerah yang mendaftar untuk menjadi pemilih tambahan di DIY.
Hamdan menambahkan, pendaftaran pemilih tambahan masih dibuka hingga pertengahan Maret 2018. Berdasarkan pantauan sementara, jumlah pemilih tambahan tersebut masih mengalami pertambahan cukup signifikan.
Hamdan menceritakan, setelah penetapan DPTb tahap pertama pada pertengahan Februari, sampai saat ini tercatat ada lebih dari 4.000 pemilih tambahan baru yang mendaftar di Sleman. “Jadi, tambahannya itu masih cukup banyak,” tuturnya.
Sampai saat ini, Hamdan menyatakan, banyaknya jumlah pemilih tambahan di DIY itu belum menimbulkan persoalan. Sebab, jumlah pemilih tambahan itu masih lebih sedikit daripada jumlah surat suara cadangan yang sebesar 2 persen dari DPT.
Selain itu, para pemilih tambahan itu juga masih bisa disebar ke berbagai tempat pemungutan suara (TPS) tanpa harus melanggar aturan maksimal jumlah pemilih di TPS. Sesuai aturan, jumlah pemilih di satu TPS maksimal 300 orang. “Sampai sekarang masih aman,” ungkap Hamdan.
Menurut Hamdan, untuk menjaring pemilih tambahan yang ingin memilih di DIY, KPU kabupaten/kota di DIY telah membuka posko pendaftaran di sejumlah lokasi, termasuk di berbagai kampus dan pondok pesantren. Hal ini untuk memudahkan para pemilih, termasuk mahasiswa dan santri yang berasal dari luar DIY, untuk pindah memilih di DIY. Dengan begitu, mereka tidak perlu pulang kampung untuk mencoblos.
“Kami sudah buka posko di puluhan kampus di seluruh DIY. Mau kampus yang besar, mau kampus yang mahasiswanya sedikit, semua kami datangi. Istilahnya, kami menjemput pemilih,” ujar Hamdan.
Sementara itu, Evita Oktavia (22), mahasiswa asal Palu, Sulawesi Tengah, mengatakan, tidak sulit baginya untuk mendaftar menjadi pemilih tambahan di DIY. Evita merasa dimudahkan karena ada posko yang dibuka KPU di kampusnya, yakni Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia juga melihat minat mahasiswa di DIY untuk mengurus hal tersebut juga cukup tinggi.
“Menurut saya, posko ini sangat membantu dan memudahkan kami. Karena kami bisa mengurus (pindah memilih) langsung di kampus saja. Antrenya waktu itu juga panjang. Mungkin, ada ratusan mahasiswa bersama saya mengurus pindah memilih,” kata Evita.
Evita menceritakan, saat ia mendaftar menjadi pemilih tambahan pada 15 Februari 2019, posko yang dibuka KPU sampai harus memperpanjang waktu pelayanan karena banyaknya mahasiswa yang ingin mendaftar. Semula, posko tersebut hanya melayani hingga pukul 12.00. Tetapi, banyaknya pendaftar membuat posko itu memberikan layanan hingga pukul 15.00.
Evita berpendapat, memberikan suara dalam pemilu merupakan sesuatu yang sangat penting. Sebab, pemilu merupakan bentuk penerapan sistem demokrasi yang harus dimanfaatkan oleh warga negara untuk menyalurkan aspirasinya.
Evita Oktavia (22), mahasiswa asal Palu, Sulawesi Tengah, mengatakan, tidak sulit baginya untuk mendaftar menjadi pemilih tambahan di DIY. Evita merasa dimudahkan karena ada posko yang dibuka KPU di kampusnya, yakni Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia juga melihat minat mahasiswa di DIY untuk mengurus hal tersebut juga cukup tinggi.
“Saya gunakan hak pilih biar saya tidak kecewa dengan hasil pemilu. Dengan terlibat memberikan suara, saya ikut menentukan pemimpin negara ini lima tahun ke depan. Jadi sangat penting untuk ikut memberikan suara. Satu suara sangat berarti dalam pemilu nanti,” kata Evita.