JAKARTA, KOMPAS - Ombudsman berencana mengevaluasi kinerja pemerintah dalam menjalankan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Enam bulan sejak peraturan itu dikeluarkan, Konsorsium Pembaharuan Agraria menilai belum ada upaya progresif untuk mempercepat reforma agraria.
Rencana tersebut disampaikan setelah perwakilan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) beraudiensi dengan Ombudsman, di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (4/3/2019).
"Evaluasi penting untuk melihat sampai mana ini dijalankan. Apa ada kendala administrasi, apa ada aturan operasional yang saling tumpang tindih. Tentunya kita harus mengajak pemerintah dan lembaga terkait untuk selesaikan ini bersama," ujar Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, tidak adanya upaya progresif dari pemerintah pasca keluarnya Peraturan Presiden 86/2018 terlihat dalam penanganan sengketa dan konflik agraria.
Dalam catatan akhir tahun 2018, KPA mendata telah terjadi 410 konflik agraria. Konflik tersebut mencakup luas wilayah 807.177 hektar dan melibatkan 87.568 kepala keluarga. Konflik agraria terbesar terkait lahan terjadi di sektor perkebunan dengan jumlah 144 kasus atau 35 persen. Konflik lainnya juga hadir di sektor properti, infrastruktur, pertanian, kehutanan, pesisir, juga pertambangan.
Konflik di lahan perkebunan juga menjadi isu kronis selama satu dekade pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan empat tahun pemerintahan Joko Widodo. Periode 2015-2018, KPA mencatat sebanyak 642 dari 1.771 konflik terjadi di sektor tersebut. Letusan konflik itu melibatkan hak guna usaha (HGU) yang dipegang oleh perusahaan negara dan swasta.
Selain itu, KPA melihat pemerintah masih lamban dalam proses redistribusi atau pembagian ulang sembilan juta hektar tanah kepada petani dan rakyat kecil.
"Yang luput adalah soal janji redistribusi tanah. Kuat diduga, ada salah sasaran dan ketidaksesuaian tujuan reforma agraria antara kesesuaian obyek atau tanah dengan penerima redistribusi ranah. Program ini berhenti dibagi-bagi sertifikat saja," tambah Dewi.
Semula menurutnya, distribusi ulang tanah seluas 400.000 hektar dijanjikan diperoleh dari HGU konsesi yang sudah habis atau ditelantarkan. Kemudian 4,1 juta hektar lagi dari pelepasan kawasan hutan.
Sementara berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada Oktober 2018, pemerintah baru merealisasikan 270.237 hektar.
Tak hanya itu, menurut KPA, redistribusi yang sesuai tujuan dan prinsip reforma agraria hanya terjadi di 785 hektar lahan.
Daftar pemilik HGU
Untuk membantu pemerintah mempercepat penyelenggaraan reforma agraria dengan merestrukturisasi lahan di wilayah perkebunan maupun hutan, KPA bersama serikat petani dan masyarakat adat telah merilis daftar perusahaan pemegang HGU, baik itu perusahaan swasta ataupun badan usaha milik negara.
Pemegang HGU tersebut, berada di 224 lokasi prioritas reforma agraria. Sebanyak 131 HGU diantaranya, seluas 288.431 hektar, dipegang oleh PT Perkebunan Nusantara. Adapun 93 HGU sisanya, seluas 123.034 hektar, dipegang oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Dalam waktu dekat, Kepala Bagian Humas Kementerian ATR/BPN Horison Mocodompis mengatakan kementerian juga berjanji akan membuka data kepemilikan HGU ke publik. Apalagi hal itu telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Putusan tersebut merupakan jawaban atas gugatan yang pernah diajukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI).
"Sampai saat ini memang belum ada data yang dipublikasi ke publik, karena masih proses penyusunan aturan pelaksana Putusan Mahkamah Agung itu sendiri di internal ATR/BPN," kata saat dihubungi di Jakarta. (ERIKA KURNIA)