Ekspor barang mentah kerap dipandang kalah pamor dibandingkan dengan ekspor produk jadi atau barang bernilai tambah. Tak pelak, industri manufaktur selalu disorot terkait perannya dalam meningkatkan ekspor.
Hal ini tak lepas dari posisi industri pengolahan sebagai sektor yang memiliki peran penting untuk meningkatkan nilai tambah bahan mentah menjadi barang setengah jadi, bahkan hingga produk jadi. Dibandingkan dengan kegiatan bercorak ekstraktif, ada potensi serapan tenaga kerja dan devisa yang lebih tinggi di sektor industri manufaktur tersebut.
Indonesia pernah menikmati buah manis dari ekspor komoditas mentah, yakni ketika harga komoditas di pasar dunia sedang melambung tinggi. Namun, pahit dirasakan ketika harga komoditas anjlok. Ekspor pun merosot karena banyak yang berupa komoditas mentah.
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, ada beberapa sektor industri yang berkontribusi besar dalam kinerja ekspor nasional pada 2018. Jika dirinci, sektor tersebut antara lain industri makanan dan minuman, dengan nilai ekspor 29,91 miliar dollar AS.
Ada juga industri tekstil dan pakaian jadi yang mencatatkan ekspor 13,27 miliar dollar AS. Adapun sektor industri logam dasar menyumbang ekspor senilai 15,46 miliar dollar AS. Sementara ekspor industri karet, barang dari karet, dan plastik senilai 7,57 miliar dollar AS.
Data yang sama menunjukkan, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki menyumbang ekspor senilai 5,69 miliar dollar AS. Nilai ekspor industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia sebesar 13,93 miliar dollar AS.
Ekspor kendaraan bermotor, trailer dan semitrailer, serta alat angkutan lainnya sebesar 8,59 miliar dollar AS. Adapun pengapalan barang komputer, barang elektronik, dan optik mencapai 6,29 miliar dollar AS.
Bukan kebetulan, sebagian besar ekspor yang membukukan kinerja baik adalah industri yang masuk ke dalam fokus pemerintah dalam industri 4.0.
Pada akhir tahun lalu, pemerintah merilis Making Indonesia 4.0 yang berisi program pemerintah dalam menghadapi Industri 4.0. Sektor yang diprioritaskan untuk menghadapi revolusi industri keempat adalah makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, elektronik, dan kimia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia pada Januari 2019 sebesar 13,87 miliar dollar AS. Industri pengolahan menyumbang 10,14 miliar dollar AS terhadap nilai ekspor itu. Secara persentase, sumbangan industri pengolahan terhadap kinerja ekspor Indonesia lumayan besar, yakni 73,11 persen.
Ditantang
Namun, bukan berarti pemangku kepentingan di sektor industri bisa berpuas diri. Sektor industri masih terus ditantang untuk meningkatkan peran terhadap kinerja ekspor Indonesia. Apalagi, jejak ketergantungan ekspor Indonesia terhadap komoditas masih terbaca, bahkan hingga awal tahun ini. Setidaknya hal ini terlihat dari data nilai ekspor nonmigas berdasar golongan barang utama.
Dari 10 golongan barang utama ekspor nonmigas Indonesia pada Januari 2019, bahan bakar mineral ada di puncak pencapaian ekspor. Nilainya 1,92 miliar dollar AS atau setara 15,20 persen dari total ekspor nonmigas yang sebesar 12,63 miliar dollar AS.
Kondisi memunculkan tantangan bagi pelaku industri manufaktur di Indonesia. Tantangannya, bisakah menempatkan produk jadinya sebagai kampiun atau di nomor satu daftar barang utama ekspor nonmigas Indonesia. Tantangan ini layak dijawab, bukan sekadar dicermati dan dijadikan teori belaka.
Jika produk jadi manufaktur mampu memenuhi daftar barang ekspor Indonesia yang akan menggarap pasar dunia, kinerja perdagangan akan lebih baik. Seperti yang jamak diketahui, produk manufaktur memiliki nilai tambah yang lebih besar. Mengacu pada data BPS, neraca perdagangan RI defisit 1,159 miliar dollar AS pada Januari 2019. Sepanjang 2018, neraca perdagangan defisit 8,496 miliar dollar AS.
Satu lagi, jika produk manufaktur Indonesia ada di berbagai belahan dunia, semua pasti bangga. (C ANTO SAPTOWALYONO)