JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mesti berhati-hati memberikan insentif ekspor dalam rangka memperbaiki neraca perdagangan. Di tengah tensi perdagangan global yang memanas, insentif ekspor rawan dituduh sebagai pelanggaran atas ketentuan perdagangan internasional.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro kepada Kompas, Senin (4/3/2019), menuturkan, rencana pemerintah memasukkan ekspor dalam kategori kinerja penerima dana insentif daerah mesti dikaji lebih lanjut. Sebab, dana insentif yang diberikan jangan sampai bertentangan dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menurut Ari, dana insentif daerah dalam bentuk subsidi bagi eksportir atau pelaku usaha tertentu berpotensi melanggar peraturan WTO dan menimbulkan reaksi dari negara mitra dagang. Oleh karena itu, dana insentif daerah sebaiknya dimanfaatkan untuk memperbaiki atau mengintegrasikan sistem perizinan dalam rangka peningkatan daya saing ekspor.
”Prinsipnya, insentif yang diberikan harus bersifat nondiskriminasi. Tidak diberikan untuk sektor industri tertentu,” kata Ari.
Untuk menghindari tuduhan, lanjut Ari, pemerintah diminta menilik penerapan insentif serupa di negara lain. Insentif tidak hanya untuk industri berorientasi ekspor, tetapi juga industri penyokong ekspor. Ekosistem ekspor Indonesia harus dibangun secara utuh sehingga tercipta rantai pasok dalam negeri yang saling terkait dari hulu ke hilir.
Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam peresmian National Export Dashboard (NED), mengatakan, pemerintah akan mengkaji agar ekspor masuk kategori kinerja penerima dana insentif daerah. Tujuannya agar setiap daerah semakin termotivasi untuk mendorong ekspor produk unggulannya.
”Saya jadi terpikir untuk memasukkan (ekspor) ke dana insentif daerah agar setiap daerah berlomba-lomba menghasilkan produk bagus,” ujar Sri Mulyani.
Saat ini ada 11 kategori kinerja yang ditetapkan Kementerian Keuangan untuk mendapat dana insentif daerah. Kategori kinerja meliputi kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah, penyediaan layanan dasar publik—termasuk pengelolaan sampah—serta bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Mengutip data Kementerian Keuangan, pemerintah meningkatkan alokasi dana insentif daerah dalam APBN 2019 menjadi Rp 10 triliun untuk 336 daerah. Alokasi dana insentif itu berkisar Rp 8,94 miliar-Rp 85,64 miliar per daerah. Setiap daerah mendapat porsi yang berbeda sesuai kategori kinerja yang dicapai.
Alokasi dana insentif daerah meningkat signifikan setidaknya dalam empat tahun terakhir. Pada 2014, realisasi dana insentif daerah Rp 1,39 triliun. Sementara pada 2017 dan 2018 masing-masing Rp 7,5 triliun dan Rp 8,5 triliun.
Ekspor menantang
Ari menambahkan, pertumbuhan volume perdagangan internasional yang diproyeksikan menurun pada tahun ini membuka tantangan ekspor lebih berat. Sebagian besar negara akan memanfaatkan instrumen fiskalnya untuk mendorong ekspor dan mengamati kebijakan di negara tujuan ekspor yang dapat menjadi hambatan.
Salah satu negara yang kini kebijakan insentif ekspornya disoroti dunia internasional adalah China. China dinilai menerapkan kebijakan antidumping atau harga jual di luar negeri yang lebih rendah dari harga normal terhadap beberapa komoditas ekspor unggulan.
”Kebijakan itu mendapat balasan dari beberapa negara mitra dagangnya dan dilaporkan ke WTO. Intinya, pemerintah tetap harus berhati-hati agar tidak dituduh menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan WTO,” kata Ari.
Pemerintah tetap harus berhati-hati agar tidak dituduh menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan WTO.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan 2018 defisit 8,496 miliar dollar AS. Adapun neraca perdagangan Indonesia per Januari 2019 defisit 1,159 miliar dollar AS. Neraca migas dan nonmigas defisit masing-masing 454,8 miliar dollar AS dan 704,7 miliar dollar AS.
Pada Januari 2019, ekspor Indonesia 13,869 miliar dollar AS, lebih kecil dibandingkan impor yang sebesar 15,028 miliar dollar AS. Sebanyak 76,21 persen impor berupa bahan baku/penolong. Sisanya barang modal (15,66 persen) dan barang konsumsi (8,13 persen).
Peneliti University Network for Indonesia Export Development (UNIED), Muhammad Firdaus, mengatakan, setidaknya ada 10 komoditas unggulan ekspor yang dapat dipacu kinerjanya, yaitu batubara, minyak sawit, karet, ikan olahan, tekstil, kertas, kopi, nikel, kakao, serta kayu dan furnitur. Pemilihan komoditas unggulan mempertimbangkan kontribusi terhadap neraca perdagangan, pertumbuhan ekonomi, dan penyerapan tenaga kerja.
Dana penghargaan
Litbang Kompas mencatat, mulai tahun 2011, pemerintah memberikan skema pembayaran insentif bagi daerah yang disebut Dana Insentif Daerah (DID). Dalam susunan APBN, Dana Insentif Daerah termasuk salah satu komponen Transfer ke Daerah dan Dana Desa atau TKDD.
Dana tersebut adalah bentuk penghargaan bagi provinsi, kota, dan kabupaten yang berprestasi dalam sektor tata kelola keuangan, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.
Besaran dana disesuaikan kinerja daerah dengan pertimbangan beberapa dokumen, seperti laporan keuangan pemerintah daerah dan peraturan daerah APBD tiap tahunnya. Badan Pemeriksa Keuangan pun turut memberikan evaluasi. Hasilnya, tiap daerah berhak menerima dana insentif atas kinerja yang telah dilakukan.
Pelaksanaan DID tahun 2019 ini terbagi menjadi dua periode penyaluran dana, yaitu pada bulan Februari dan Juli. Tiap daerah yang melewati batas pengajuan DID akan dinyatakan gugur. Besaran nilai masing-masing tahap adalah 50 persen dari pagu alokasi. Untuk tahun ini, jumlah daerah yang menerima DID mencapai 336 daerah.
Tiap tahun besaran dana terus meningkat. Alokasi DID pada 2015 sebesar 1,7 triliun rupiah, kemudian naik hingga mencapai 10 triliun rupiah di APBN 2019. Rata-rata jumlah yang diterima selama lima tahun terakhir ini adalah 6,54 triliun rupiah. Dengan adanya DID itu, tiap daerah diharapkan meningkatkan inovasi dan kreativitas dalam pengembangan layanan publik dan produk lokalnya.