JAKARTA, KOMPAS — Organisasi masyarakat sipil menuntut pemerintah untuk membuka dokumen hak guna usaha atau HGU lahan dan hutan. Keterbukaan informasi itu bisa menjadi pijakan dalam menyelesaikan persoalan pemanfaatan hutan dan lahan yang terus berlangsung.
Tuntutan tersebut disampaikan Forest Watch Indonesia (FWI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, Senin (4/3/2019). Mereka menginginkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membuka informasi itu. Sebab berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 121 K/TUN/2017, HGU adalah dokumen publik.
Manajer Kampanye dan Advokasi Kebijakan FWI Mufti Barri mengatakan, putusan itu menguatkan gugatan yang diajukan FWI ke Kementerian ATR/BPN untuk mengungkap nama pemegang HGU, lokasi, luas HGU yang diberikan, jenis komoditas, dan peta areal HGU. Namun, setelah sekitar dua tahun, FWI tak kunjung mendapatkan dokumen itu. Setiap ditanya, kementerian beralasan sedang menyusun peraturan prosedur penyerahan dokumen.
“Mungkin karena banyaknya masalah (pada HGU), pemerintah enggan membuka dokumennya ke publik,” kata Mufti.
Mufti melanjutkan, FWI telah melaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia terkait persoalan ini. Ombudsman pun sedang mengupayakan mediasi FWI dan Kementerian ATR/BPN terkait cara penyerahan dokumen. Namun, jika solusi tidak juga tercapai, FWI akan mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Tata Usaha Negara ataupun melaporkan ke Badan Reserse Kriminal Polri.
Pentingnya keterbukaan
Mufti menjelaskan, dokumen HGU penting untuk dibuka ke publik karena merupakan hal penting dalam perbaikan tata kelola hutan dan lahan. Tertutupnya informasi menjadi pemicu persoalan tumpang tindih perizinan, konflik lahan (tenurial) berkepanjangan, dan peningkatan ancaman deforestasi.
Menurut Mufti, pada HGU terdapat kompilasi berbagai persoalan tata kelola hutan dan lahan di tiap tingkat perizinan mulai dari pelepasan lahan hingga terbitnya HGU. Jika HGU tidak diungkap ke publik permasalah itu tidak akan pernah selesai.
“Keterbukaan dokumen HGU penting untuk menjabarkan permasalahan, mencari akar masalah, dan merumuskan solusi atas permasalahan,” ujarnya.
Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM AMAN Muhammad Arman mengatakan, tertutupnya informasi publik menjadi pintu masuk penyebab perampasan wilayah adat. Pemerintah secara sepihak menetapkan wilayah adat menjadi kawasan hutan negara ataupun lahan untuk korporat. Masyarakat adat baru menyadarinya ketika mereka dilarang beraktivitas di wilayah itu.
Berdasarkan kajian overlay sementara, AMAN mencatat dari 9,6 juta hektare wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, sedikitnya 313 ribu hektare tumpang tindih dengan konsesi HGU. Lahan itu tersebar di 307 komunitas adat. Kondisi itu memicu konflik lahan antara masyarakat adat dan korporasi.
“Angka itu baru yang dilaporkan pemerintah. Kami yakin jumlah di lapangan lebih banyak. Maka keterbukaan informasi penting untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat adat. Kalau tidak, konflik akan terus terjadi,” kata Arman.
Hasil analisa FWI, setidaknya 4,3 juta hektare luas HGU dipakai untuk perkebunan. Namun, dari jumlah itu, hanya 2,8 juta hektare yang dikelola dan ditanami dengan tanaman perkebunan. Sekitar 1,5 juta hektare sisanya terindikasi tidak digunakan sesuai peruntukannya. Dari kajian itu, juga terindikasi sekitar 344.000 hektare yang masih berfungsi sebagai hutan dan terancam deforestasi.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia Ahmad Alamsyah Saragih yang juga hadir dalam kesempatan itu mengatakan, Ombudsma, informasi HGU semestinya terbuka bagi publik karena menyangkut kepentingan orang banyak. Dengan demikian, publik bisa mengontrol proses pemberian dan masa berlaku HGU. Meski demikian, ada prosedur dalam membukakan informasi itu agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain.
Petunjuk teknis
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bagian Humas Kementerian ATR/BPN Horison Mocodompis memberikan alasan kementerian belum menyerahkan dokumen itu. Menurut Horison, Kementerian ATR BPN sedang mempersiapkan mekanisme penyerahan berupa petunjuk teknis tentang Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2017 Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU sebagai instrumen pelaksanaan.
Kementerian juga masih dalam proses sidang dan konsultasi dengan Komisi Informasi Pusat dan Ombudsman untuk mendapatkan masukan ataupun rekomendasi terkait petunjuk teknis itu.
Horison mengakui bahwa dokumen HGU berdasarkan ketentuan perundang-undangan memang bisa dibuka kepada masyarakat yang memiliki keperluan atau hubungan hukum terhadapnya. Namun, dalam proses pembukaan data kepada publik, harus dipastikan semua sesuai mekanisme dan aturan.
“Jangan sampai ada ketentuan perundangan yang dilanggar. Misalnya, tentang hak privat atau hak keperdataan. Tidak ada (alasan memperlambat), selain keinginan untuk memastikan bahwa pelaksanaannya nanti tidak melanggar aturan perundangan yang lain,” kata Horison.