Mereka Hidup Dibayangi Bencana
Setelah bertahun-tahun memberanikan diri hidup dalam bahaya, kali ini ketakukan itu mendekat. Daeng Toha (75) dan Daeng Mida (70) merasa bahaya ada di depan mata. Dibantu anaknya, mereka berniat mengungsi rumah sanak kerabat, Senin (4/2/2019). Retakan tanah dan longsor di sekitar tempat tinggal mereka membuat keduanya tak dapat tidur nyenyak.
Daeng Toha dan Daeng Mida tinggal di Dusun Lengkese, Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Seusai bencana banjir dan longsor, Selasa (22/1/2019) di beberapa wilayah di Sulawesi Selatan, mereka pun gusar. Sebab, tanah di bagian belakang rumah berjatuhan, bagian depan rumah bergeser mundur beberapa centimeter. Bahaya mengintai mereka karena rumah Daeng Doha berada di sisi tebing.
Bencana di awal tahun itu mengingatkan mereka pada peristiwa kelam, Jumat (26/3/2004) silam. Ketenangan warga Manimbahoi berubah jadi kepanikan sekitar pukul 14.00 waktu Indonesia tengah saat dinding kaldera Gunung Bawakareng yang tak jauh pemukiman mereka runtuh.
Separuh desa itu, termasuk Dusun Lengkese dan beberapa bagian desa lain, tertimbun material longsoran yang volumenya berkisar 250-300 juta meter kubik. Sebanyak 32 tewas dan sebagian tak ditemukan hingga pencarian dihentikan. Mereka tertimbun material dengan ketebalan hingga lebih 300 meter. Satu bangunan sekolah, puluhan rumah, lebih dari 600 ekor sapi dan 1.500 hektar lahan pertanian, ikut lenyap tertimbun.
Di antara korban yang tertimbun, terdapat anak Daeng Doha dan Daeng Mida yakni Mariani Daeng Lu’mu dan suaminya Takbir Daeng Tutu. Mereka dinyatakan tewas karena jasadnya belum ditemukan. Kendati demikian, kedua warga Lengkese ini tetap merasa beruntung. Cucu mereka, Yunus, anak dari Mariani dan Takbir selamat karena sedang dititipkan ke rumah adik Mariani.
Warga bingung
Peristiwa kelam itu terus menghantui pasangan ini di tengah kekhawatiran bakal kembali terjadi longsor. “Rumah saya disini sejak dulu. Penghidupan saya ada disini. Tetapi kalau melihat kondisi sekarang, kami khawatir. Rumah ini seperti akan ambruk karena longsor,” kata Daeng Mida terbata-bata.
Desa Manimbahoi bisa dikatakan desa terakhir di hulu Sungai Jeneberang. Suasana Manimbahoi yang tenang, kini diliputi kekhawatiran warga yang terbayang peristiwa masa silam. Apalagi, sebagian rumah nampak sudah retak akibat tanah di bawah rumah mereka terus bergerak. Pantauan di desa ini dan perbukitan sekitar Gunung Bawakareng menunjukkan banyaknya longsoran baru.
Sebagian tebing-tebing di ketinggian tampak muncul retakan. Beberapa tanah juga ambles saat dipijak. Di sepanjang jalan dari Desa Manimbahoi hingga Danau Tanralili di kaki Bawakaraeng, tampak tebing yang rawan longsor berada di sisi kiri dan kanan Sungai Jeneberang.
Saat longsor 2004 lalu, material longsoran yang begitu besar, mengalir melalui Sungai Jeneberang dan sebagian lagi mengendap di Bendungan Bili-Bili. Material longsoran yang tersimpan di hulu Sungai Jeneberang membentuk bukit-bukit kecil serta menimbun sungai sehingga Danau Tanralili terbentuk. Bukit-bukit tumpukan material longsoran kini mulai mengalami longsor besar.
Selain warga di Manimbahoi, kekhawatiran serupa juga irasakan warga Desa Pattallikang, Kecamatan Manuju, Gowa. Selasa (22/1/2019) lalu, sebagian desa ini tertimbun longsor dari Bulu’ Pattiro yang sangat dekat dengan desa. Ada 23 warga tewas tertimbun dan sebagian tak bisa dievakuasi akibat tebalnya material longsoran. Puluhan rumah ikut terpendam tanah longsor.
“Rumah saya hancur tertimbun longsor. Beruntung kami sekeluarga selamat. Sekarang tidak tahu mau tinggal dimana. Tempat ini sudah tidak aman dan sewaktu-waktu longsor bisa kembali terjadi,” kata Sama Daeng Sila (55).
Baca juga : Akses ke Gowa Mulai Dibuka
Daeng Sila dan warga Pattalikang lain dilanda rasa trauma usai longsor menimbun desa. Mereka berharap ada jalan keluar dari pemerintah sehingga warga tidak dilanda rasa was-was, terutama saat musim hujan tiba.
Bantaran sungai
Jika warga di dataran tinggi dihantui ancaman longsor, di sepanjang aliran hingga muara Sungai Jeneberang, warga menghadapi ancaman banjir. Ini terutama dirasakan warga yang berdiam di bantaran sungai.
Di Kelurahan Parang Tambung Kecamatan Tamalate, Kota Makassar misalnya, sebanyak empat rumah hanyut terbawa aliran Sungai Jeneberang pada Selasa (22/1/2019). Luapan Sungai Jeneberang saat itu merendam rumah warga hingga ketinggian lebih dari satu meter.
Mereka bertahan tinggal di atas sedimen sungai karena belum punya pilihan tinggal di lokasi lain. Di antara yang bertahan adalah pasangan suami istri Makka Daeng Naba (60) dan Hadijah Daeng Time (57). Bersama tiga anaknya yang masing-masing sudah berkeluarga, mereka bertahan di petak-petak sempit di bantaran Sungai Jeneberang.
Mereka tak punya pilihan walau ingin pindah. Padahal petak-petak yang ditempati sekarang juga bukan di atas tanah mereka. “Ini tanah yang masuk bagian proyek bendungan. Dulu kami diberi izin tinggal dengan catatan harus pindah jika tanah ini akan digunakan,” kata Daeng Naba.
Daeng Naba mengatakan selama puluhan tahun tinggal di bantaran sungai, baru pada Selasa lalu dia melihat air meluap hingga masuk ke rumahnya. Sebelumnya, walaupun hujan turun deras, air tak pernah masuk hingga ke dalam rumah hanya naik hingga batas tembok di sisi sungai. Namun dia paham bahwa air yang meluap begitu besar itu terjadi akibat pintu air Bendungan Bili-Bili dibuka.
Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR) Sulsel, Andi Darmawan Bintang, mengatakan sejak 2016 terjalin kerjasama antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten terkait pengamanan Sungai Jeneberang. “Sudah ada SK (surat keputusan) Gubernur untuk turun melakukan pengamanan Bantaran Sungai Jeneberang,” ujarnya.
Bangunan dan aktivitas tanpa izin yang berdiri di atas sempadan sungai, akan ditertibkan karena berbahaya dan mengganggu aliran debit sungai. Adapun luas lingkup sempadan sungai berkisar 50 meter hingga 100 meter dari bibir sungai. “Namun, penertiban ini kami sesuaikan dengan kondisi di lapangan, karena ada beberapa sungai dan kali yang ada di perkotaan itu memang sempadannya tidak ada,” kata Darmawan.
Ahli Hidrologi Universitas Hasanuddin Farouk Maricar, menilai selain berbahaya, permukiman di daerah aliran sungai (DAS) dapat menghilangkan fungsi konservasi air. Kebanyakan permukiman saat ini hanya memikirkan konsep drainase tanpa peduli kemampuan lahan menyerap air ke dalam tanah. Padahal konsep permukiman yang baik adalah bagaimana air itu bisa kita tahan selama mungkin.
“Karena jika dia masuk ke dalam tanah, sumber air, cadangan air tanah kita, tetap terpelihara. Biarpun musim hujan selesai juga air di sungai tetap mengalir karena air tanahnya terisi,” ujar Farouk yang juga anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan Sulsel bidang pengairan.
Relokasi
Kepala Bidang Perencanaan Umum dan Program BBWS Pompengan-Jeneberang Hasrawati Rahim mengingatkan warga agar tidak bermukim di bantaran sungai karena rawan tersapu banjir. “Sudah sering kami peringati bahwa disana itu berbahaya. Tapi memang baru kali ini banjir. Sudah ditegur tetap juga bermukim,” ujar Hasrawati, di Kota Makassar, Rabu (6/2/2019).
Meskipun sudah berkali-kali diingatkan, namun upaya untuk merelokasi warga sulit dilakukan. Sebab, mereka yang tinggal di sana memiliki sertifikat. “Masyarakat punya sertifikat dan izin membangun. Mereka kuat juga dasar hukumnya.Untuk relokasi butuh dana yang besar juga,” ucap Hasrawati.
Pada saat yang sama, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdulah telah menyiapkan relokasi bagi warga yang tinggal di daerah rawan bencana, terutama tanah longsor, untuk menghindari korban jiwa. Begitu pun juga Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan, ia menyediakan lahan relokasi bagi warga yang tinggal di daerah rawan longsor. Sayangnya warga terlanjur hidup di lokasi bencana bertahun-tahun. (Benediktus Krisna Yogatama/Dimas Waraditya Nugraha/Renny Sri Ayu)