Pemerintah Klaim Risiko Penerbitan Obligasi Korporasi Kecil
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengklaim risiko gagal bayar utang dari penerbitan obligasi korporasi di pasar modal Indonesia relatif kecil. Meski demikian, kewaspadaan tetap ditingkatkan karena ketidakpastian masih menyelimuti perekonomian global.
“Di dalam negeri tidak ada kasus khusus yang mengindikasikan terjadinya gagal bayar utang atau default yang besar,” ujar Direktur Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman di Jakarta, Senin (4/3/2019).
Pernyataan Luky merespons peringatan akan risiko utang perusahaan nonlembaga keuangan dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), pekan lalu. OECD menyebutkan perekonomian global dihadapkan pada risiko peningkatan utang perusahaan nonlembaga keuangan yang mencapai 13 triliun dollar AS sampai akhir tahun 2018.
Luky mengatakan, peringatan dari OECD berlaku untuk semua negara tak terkecuali Indonesia. Hal itu karena perekonomian global masih diselimuti ketidakpastian akibat kebijakan Bank Sentral AS, kesepakatan Brexit, serta keputusan perang dagang antara AS dan China. Untuk itu, pemerintah diminta tetap berhati-hati kendati risiko dalam negeri relatif kecil. “Itu hanya peringatan saja dan saya lihat sifatnya masih normatif, berlaku untuk semua negara karena kondisi global masih seperti ini,” kata Luky.
OECD menyebutkan, utang perusahaan nonlembaga keuangan melalui penerbitan obligasi korporasi meningkat tajam. Dalam kurun 2008-2018, penerbitan obligasi korporasi di pasar global mencapai rata-rata 1,7 triliun dollar AS per tahun, sementara sebelum krisis keuangan tahun 2008 sekitar 864 miliar dollar AS per tahun.
Perusahaan dari negara ekonomi maju, yang menerbitkan 79 persen total obligasi korporasi di pasar global tahun 2018, menyadari bahwa obligasi yang mereka terbitkan meningkat hampir 70 persen dari 5,97 triliun dollar AS tahun 2008 menjadi 10,17 triliun tahun 2018.
Sementara penerbitan obligasi korporasi di pasar negara-negara berkembang, yang digerakkan pertumbuhan ekonomi China, mencapai total 2,78 triliun dollar AS tahun 2018 atau meningkat 395 persen dibandingkan satu dekade lalu. China pernah menduduki peringkat kedua yang menerbitkan obligasi korporasi tertinggi di dunia sekitar 590 miliar dollar AS tahun 2016.
Di tengah situasi pelambatan pertumbuhan ekonomi global, OECD mengingatkan perusahaan penerbit obligasi korporasi dengan nilai tinggi untuk berhati-hati. Risiko pembiayaan utang semakin besar karena perlambatan pertumbuhan ekonomi dibarengi penurunan investasi dan peningkatan suku bunga acuan.
“Biaya utang yang harus dibayar perusahaan-perusahaan global itu sekitar 4 triliun dollar AS dalam tiga tahun ke depan. Angka ini sudah disesuaikan dengan total neraca keuangan Bank Sentral AS, Federal Reserve,” tulis OECD dalam laporan bertajuk ”Risk Rising in Corporate Debt Market” yang dipublikasikan Selasa (26/2/2019) waktu setempat.
Dihubungi terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira berpendapat, peringatan risiko penerbitan obligasi korporasi muncul dari berbagai implikasi mulai dari kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif pada tahun lalu, perlambatan pertumbuhan ekonomi global serta volume perdagangan internasional.
Untuk memperkecil risiko, menurut Bhima, perusahaan disarankan mendiversifikasi penerbitan obligasi korporasi dalam denominasi valuta asing (valas) selain dalam Dollar AS, Euro, dan Yen. Obligasi korporasi bisa diterbitkan dalam Yuan China atau beberapa mata uang negara Timur Tengah. “Diversifikasi mata uang ini juga upaya membuka pasar baru bagi penerbitan obligasi,” kata Bhima.
Menurut dia, risiko gagal bayar utang juga dapat diperkecil dengan pemantauan likuditas setiap perusahaan. Mereka yang mengalami penurunan penjualan dan pertumbuhan asset diminta tidak menerbitkan obligasi korporasi. Perusahaan yang berutang dalam bentuk valas juga dapat menggunakan lindung nilai untuk memitigasi risiko ekonomi global.