Penanggulangan HIV/AIDS dengan Pendekatan Pidana Tak Efektif
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan pendekatan pidana dinilai tidak efektif dan justru kontraproduktif dengan upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi bagi populasi kunci HIV/AIDS. Sebaliknya, mendorong peran aktif populasi kunci dan orang dengan HIV/AIDS justru sangat penting dalam mendukung dan menjamin terselenggaranya penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif.
Selain pelibatan aktif, usaha mendorong penciptaan tatanan sosial yang kondusif bagi populasi kunci dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) juga sangat menentukan. Hal ini sejalan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
Populasi kunci HIV/AIDS sesuai Pasal 10 Ayat (7) Permenkes No 21/2013 terdiri dari pengguna napza suntik; wanita pekerja seks (WPS) langsung ataupun tidak langsung, pelanggan/pasangan seks WPS; gay, waria, dan laki-laki pelanggan/ pasangan seks dengan sesama laki; dan warga binaan lapas/rutan.
Permenkes juga mengatur upaya pencegahan penularan HIV/AIDS harus dilakukan dengan peningkatan peran pemangku kepentingan untuk menciptakan tatanan sosial di lingkungan populasi kunci yang kondusif.
”Penanggulangan HIV/AIDS tidak akan tercapai dengan menghukum, kriminalisasi, atau mengatur hukum pidana yang menyasar populasi kunci HIV/AIDS. Pendekatan kriminal yang mengirim mereka ke pemasyarakatan jelas bukan jawaban,” ujar Erasmus AT Napitupulu, Direktur Program Intistute for Criminal Justice Reform (ICJR), di Jakarta, Minggu (3/3/2019).
Harapan ini disampaikan ICJR bertepatan dengan peringatan Hari Tanpa Diskriminasi (Zero Discrimination Day) yang diperingati setiap tanggal 1 Maret. Hari Tanpa Diskriminasi dicetuskan oleh Program PBB untuk Gerakan Global Terkait HIV/AIDS (UNAIDS) pada 2014. Program tersebut untuk mengampanyekan antidiskriminasi terhadap ODHA ke seluruh dunia.
Diskriminasi
Menurut Erasmus, kriminalisasi terhadap populasi kunci HIV/AIDS merupakan bentuk diskriminasi. Padahal, seharusnya pemerintah melakukan pendekatan kesehatan, bukan malah melakukan kriminalisasi dengan ancaman penjara yang tidak ringan.
Apalagi, pemerintah telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS. Salah satu tujuannya adalah untuk mengubah aturan perundangan yang bersifat menghukum, kontraproduktif, menghambat akses, seperti batas usia, serta permasalahan hak asasi manusia dan ketidaksetaraan jender, stigma, dan diskriminasi pada populasi kunci.
”Pemidanaan justru merupakan bentuk diskriminasi pada populasi kunci, yang menghambat populasi kunci mengakses layanan untuk dirinya,” ujarnya.
Namun, hingga kini, lanjutnya, kerangka hukum Indonesia masih memiliki peraturan hukum pidana yang menyasar populasi kunci HIV/AIDS. Sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengguna narkotika, termasuk di dalamnya pengguna napza suntik, diancam pidana penjara.
”UU Narkotika telah membawa ribuan pengguna narkotika ke penjara, yang seharusnya memperoleh layanan rehabilitasi. Tercatat angka pengguna narkotika di penjara terus naik setiap tahunnya,” kata Erasmus.
Informasi yang dikumpulkan ICJR, jumlah pengguna narkotika di rutan/lapas pada Desember 2018 mencapai 38.493 orang, terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jumlah pengguna narkotika di rutan/lapas per Desember 2017 sebanyak 37.085 orang, per Desember 2016 sebanyak 28.647 orang, dan per Desember 2015 sebanyak 26.330 orang
Sementara layanan rehabilitasi komprehensif di lapas tidak tersedia. Per Juni 2018, layanan rehabilitasi paling banyak dalam bentuk edukasi (1.184 layanan), intervensi singkat (97 layanan), terapi substitusi metadon (19 layanan), dan rehabilitasi sosial therapeutic community (125 layanan).
”Layanan edukasi tersebut tidak cukup untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan narkotika. Perlu ada intervensi komprehensif bagi pencandu narkotika untuk mengatasi adiksi yang dideritanya,” ujar Erasmus.
Menjauhkan dari layanan kesehatan
Dihubungi terpisah, Ardhany Suryadarma, Manajer Program Rumah Cemara, menilai, sejauh ini aturan hukum pidana yang ada, khususnya terkait pengguna narkotika, justru menjauhkan pengguna narkotika dari layanan kesehatan. Rumah Cemara adalah organisasi komunitas yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup ODHA, konsumen narkoba, dan kaum marjinal.
”Kebijakan yang masih mengkriminalisasi pengguna dan kepemilikan narkotika dalam jumlah kecil membuat overcrowding lapas-lapas yang ada. Akan tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah kampanye yang mendiskriminasi populasi kunci, terutama pengguna napza, lelaki suka lelaki, waria, dan pekerja seks,” kata Ardhany.
Kampanye miring ini menyebabkan ramainya persekusi oleh kelompok masyarakat lain, yang akan dapat menyebabkan populasi kunci semakin tertutup dan susah untuk dijangkau serta mengakses layanan kesehatan.
”Pemerintah perlu membuat regulasi baru yang mendekriminalisasi pengguna narkotika, mengalihkan 10 persen dana yang digunakan untuk perang terhadap narkotika ke pendanaan kesehatan masyarakat. Selain itu, harus tegas menindak pihak-pihak yang melakukan persekusi terhadap populasi kunci serta melindungi hak-hak populasi kunci sebagai manusia,” katanya.