Agar Tak Merugikan, Perjanjian Indonesia-Australia Perlu Pembahasan Komprehensif
Oleh
M Fajar Marta
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan menargetkan akan menyelesaikan 12 perjanjian perdagangan pada 2019. Sejauh ini sudah ada empat perjanjian yang masuk dalam tahap ratifikasi, salah satunya perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Australia (Indonesia Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement/IA-CEPA). Sejumlah kalangan menilai, pembahasan harus dilakukan secara komprehensif agar tidak merugikan Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang dikutip Kompas pada Selasa (5/3/2019), beberapa perjanjian perdagangan yang menjadi target untuk diselesaikan, antara lain Perjanjian Tarif Preferensial (Preferential Trade Agreement/PTA) antara Indonesia-Iran, Indonesia-Tunisia PTA, Indonesia-Maroko PTA, serta Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Adapun beberapa perjanjian perdagangan lainnya masih dalam tahap perundingan.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan, untuk Indonesia-Mozambik PTA diharapkan tahun ini legal studinya akan selesai.
Sementara untuk perkembangan RCEP, masih akan ada beberapa kali pertemuan. ”Setidaknya secara substansi diharapkan tahun ini selesai dengan 16 negara yang tergabung,” kata Enggartiasto, Selasa, di Jakarta.
Adapun empat perjanjian perdagangan yang telah ditandatangani dan masuk tahap ratifikasi, yakni Indonesia-Chile (CEPA), ASEAN-Hong Kong FTA dan Perjanjian Investasi, Indonesia-European Free Trade Association (EFTA) CEPA, dan IA-CEPA.
Terkait dengan proses ratifikasi IA-CEPA, sejumlah kalangan menilai, Pemerintah RI bersama DPR perlu memperhatikan beberapa hal agar Indonesia tidak merugi. Sebab, angka impor pangan dari Australia sejak 2012 hingga 2018 menunjukkan kenaikan yang signifikan. Bahkan, selama Juni-Agustus 2018, impor mencapai 3,8 juta dollar AS, khususnya impor daging sapi, gula rafinasi, susu, dan keju.
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi tentang IA CEPA juga menyoroti nilai impor hasil pertanian dari Australia. Data impor hasil pertanian dari Australia menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, hingga 2018 tercatat impor Indonesia mencapai angka 5,16 juta dollar AS, atau sekitar 33 persen total impor pertanian Indonesia.
Menanggapi kondisi ini, Peneliti GRAIN Kartini Samon menjelaskan, tanpa IA-CEPA saja, angka impor pertanian dari Australia mencapai hingga 5,16 juta dollar AS dan membanjiri Indonesia. Ia menilai, perdagangan bebas dengan Australia akan mengganggu petani serta peternak domestik, industri gula, dan produsen pertanian lain, bila dibiarkan begitu saja.
”Sementara ekspor produk Indonesia ke Australia, kebanyakan sudah mendapatkan nol persen tarif. Artinya, perjanjian ini mungkin tidak akan meningkatkan pasar yang sebelumnya. Tetapi sebaliknya, Indonesia malah lebih kebanjiran impor pangan dari Australia,” ujar Kartini.
Keseimbangan
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Faisal menyampaikan, kalau Indonesia hanya mengejar dari sisi perdagangan barang, ekspor ke Australia jelas relatif terbatas. Sebab, pasar Australia sepersepuluh lebih kecil dibandingkan Indonesia.
”Walaupun dari sisi jumlah barang yang dibebaskan tarifnya kurang lebih sama, yaitu sekitar 6.000 jenis, karena pasarnya jauh berbeda jadi dari sisi perdagangan barang, kemungkinan kita akan defisit sebagai hasil dari IA-CEPA,” katanya.
Jadi, kalau hanya dari perdagangan barang tentu kita akan lebih banyak menerima impor dari Australia dibandingkan ekspor. Namun, IA-CEPA membahas kerja sama lebih luas. ”Inilah yang harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menyeimbangkan nilai perdagangan kita, baik dari jasa, investasi, maupun hubungan ekonomi yang lebih luas,” ujar Faisal.
Misalnya, pembangunan kapasitas tenaga kerja di level madya yang ditawarkan Australia, yaitu untuk pelatihan vokasi. Dalam hal ini, permintaan Indonesia tentu besar karena ada keterbatasan dari sisi kompetensi dan kualitas.
”Jangan hanya terpaku pada berapa jumlah orang yang dilatih, tetapi bagaimana perkembangannya setelah dilatih. Apakah betul-betul bisa diserap oleh industri dalam negeri, pelaku usaha, dan meningkatkan daya saing, baik dari sisi sumber daya manusia maupun industrinya?” papar Faisal.
Demikian halnya dalam bidang investasi. Faisal menuturkan, Pemerintah RI perlu mendorong investasi dari Australia untuk diarahkan bagi pembangunan wilayah timur. ”Berhubung Australia secara politik sering mengangkat Indonesia timur, ini kesempatan mengarahkan untuk membangun Indonesia timur dengan investasi mereka,” ujarnya.
Investasi
Namun, perlu diingat pula, dalam dokumen hasil utama IA-CEPA yang dikeluarkan oleh Australian Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) , disebutkan bahwa liberalisasi investasi di sektor jasa dianggap akan lebih memberikan jaminan atas kepemilikan investasi Australia di Indonesia. Bahkan, Australia mengklaim bahwa Indonesia memberikan komitmen yang lebih kuat dibandingkan perjanjian lain yang pernah dilakukannya.
Menurut Koordinator Solidaritas Perempuan Puspa Dewi, dalam liberalisasi investasi di sektor jasa terdapat aturan, yaitu Indonesia dilarang untuk membatasi tingkat kepemilikan investasi Australia.
Dalam hal ini, Indonesia dilarang untuk mewajibkan divestasi atas kepemilikan investasi Australia di Indonesia di bawah persentase yang telah disepakati (dengan pengecualian terbatas). Bahkan, negara dilarang membuat kebijakan yang liberalisasinya lebih rendah di kemudian hari.
”Tentu hal ini berdampak terhadap menyempitan ruang kebijakan negara dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi dan melindungi hak dasar publik di Indonesia. Tapi di sisi yang lain, kebijakan lokal terus didorong untuk lebih memfasilitasi investasi ketimbang perlindungan rakyat,” papar Dewi.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menambahkan, IA-CEPA juga mengatur perlindungan investasi dengan memasukkan klausul gugatan investor terhadap negara (investor state dispute settlement/ISDS). Klausul ini dibuat untuk memberikan hak investor asing (dari Australia) guna menuntut pemerintah tuan rumah di pengadilan Arbitrase Internasional atas peraturan yang dianggap merugikan bagi investor.
”Terkait dengan isu investasi dalam IA-CEPA, ada desakan dari perusahaan tambang Australia yang menginginkan agar mekanisme ISDS dimasukkan dalam IA-CEPA. Mereka mengklaim, perusahaan tambang Australia sering mendapat tekanan besar dari kebijakan Pemerintah RI, khususnya terkait dengan Undang-Undang Mineral dan Batubara yang mewajibkan untuk divestasi saham asing,” paparnya.
Rachmi mengingatkan, dari pengalaman Indonesia digugat oleh investor asing, beberapa di antaranya perusahaan tambang asal Australia, yaitu Churcill Mining dan Planet Mining (perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Australia) karena aturan larangan expropriasi khususnya soal pencabutan izin tambang. Bahkan, perusahaan tambang asal Australia, New Crest, pernah mengancam Indonesia untuk digugat di Pusat Internasional Penyelesaian Perselisihan Investasi (ICSID) karena akan mengganti UU mengenai lingkungan.