JAKARTA, KOMPAS — Dua peraturan baru tentang rumah susun memicu pro dan kontra dari sejumlah pihak. Mereka belum satu suara memandang peraturan baru yang diterbitkan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Perbedaan pendapat itu mengerucut saat dua perwakilan penghuni rumah susun menolak uji materi aturan rumah susun di Mahkamah Agung.
Penolakan uji materi dilakukan Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) Apartemen Puri Garden Paulus Thung dan Ketua P3SRS Mangga Dua Court Lim Hong Beng. Penolakan ini didasari pada banyaknya persoalan antara penghuni dan pengelola rumah susun.
Dua perwakilan penghuni apartemen itu menolak uji materi dua aturan rumah susun yang diajukan notaris Sutrisno Tampubolon. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 23 Tahun 2018 Tentang P3SRS dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 132 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik.
Sutrisno berpendapat, dua aturan itu terbit sebelum ada peraturan pemerintah terkait rumah susun. Secara hierarki urutan penerbitan peraturan dimulai dari tingkat UU, PP, peraturan menteri, hingga peraturan gubernur.
Vera Soemarwi, kuasa hukum Paulus Thung dan Lim Hong Beng, menyatakan, penerbitan kedua peraturan baru itu dimungkinkan karena pejabat administrasi negara memiliki wewenang melakukan pembinaan dan pengelolaan rusun sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Rusun No 20/2011.
”Di tingkat nasional pembinaan dan pengelolaan rusun merupakan kewenangan Kementerian PUPR, sedangkan di tingkat wilayah kewajiban itu dilakukan gubernur. Jika itu diabaikan, kekosongan hukum akibat belum adanya PP yang mengatur soal rusun akan menimbulkan lebih banyak masalah,” kata Vera, Selasa (5/3/2019).
Tidak hanya Sutrisno, Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) dan empat warga negara perorangan berencana mengajukan uji materi terhadap Permen No 23/2018 kepada Mahkamah Agung. Pemohon mempersoalkan sistem pemungutan suara dalam pemilihan P3SRS.
”Prinsipnya satu orang satu suara. Pemilik 200 unit rusun suaranya dihitung sama dengan orang yang hanya punya 1 unit saja. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan dan proporsionalitas,” kata kuasa hukum pemohon, Yusril Ihza Mahendra.
Ia meyakini permohonan uji materi itu memiliki dasar hukum yang kuat. Sebab, ketentuan dalam UU Rusun No 20/2011 menyebutkan, peraturan tentang penghuni rusun harus diatur dengan PP. Maka, semestinya yang keluar adalah PP bukan permen. ”Pengaturan yang seperti ini (tentang penghuni rusun) oleh UU dikatakan harus dengan PP. Kemungkinan besar peraturan ini bisa rontok,” ujar Yusril. (PANDU WIYOGA)