JAKARTA, KOMPAS — Selama puluhan tahun Jabodetabek menghadapi masalah yang sama, yaitu kemacetan yang merupakan hasil dari kebijakan publik di banyak sektor. Forum Group Discussion yang digelar Dewan Transportasi Kota Jakarta mengusulkan perlunya badan otorita yang kuat yang bisa menentukan suatu kebijakan transportasi di wilayah bisa diterapkan atau tidak dengan memperhatikan sejumlah aturan hukum.
Riant Nugroho, pengamat kebijakan publik yang juga Kepala Rumah Reformasi Kebijakan, dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Senin (4/3/2019), menjelaskan, kemacetan yang ada hari ini di wilayah Jabodetabek merupakan hasil dari kebijakan-kebijakan sebelumnya, yaitu di mana kebijakan pembangunan transportasi masih berbasis struktur, bukan kultur.
”Bahwa kebijakan transportasi saat ini tidak pernah sungguh-sungguh,” ujarnya.
Kemudian, dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memunculkan adanya ide untuk membentuk badan otorita yang mampu mengelola kemacetan dan transportasi di Jabodetabek.
Menurut Riant, pembentukan badan itu harus juga dilihat dari kacamata Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Serta juga memperhatikan hukum administrasi negara. Itu karena transportasi adalah urusan daerah, bukan pusat. ”Lalu, kalau begitu bagaimana? Dibuatlah advisory board tadi. Dibuatlah badan otorita yang punya sifat menentukan kebijakan, ucap Riant.
Badan otorita harus dipimpin kepala badan yang independen. Lalu, karena berbentuk board advisory, board member ia sarankan terdiri dari tiga wakil dari Kementerian Perhubungan, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri. Anggota lainnya juga datang dari perwakilan pemerintah daerah yang beririsan (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten). Enam lainnya adalah para ahli independen yang berlatar belakang transportasi, tata ruang, kebijakan, ataupun ahli yang berhubungan dengan transportasi.
Dengan badan yang memiliki anggota banyak dari independen, penentuan suatu kebijakan bisa lebih kuat. ”Sehingga badan baru itu tidak mengelola karena tidak memiliki barang yang dikelola. Dia juga bukan mengoordinir,” jelas Riant.
Bambang Prihartono, Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), menjelaskan, pembahasan tersebut memang masih bahasan yang akan menjadi rekomendasi bagi gubernur.
Ia menjelaskan dalam rapat terbatas yang dipimpin presiden dan lalu wakil presiden beberapa waktu lalu, ia memang fokus menjelaskan integrasi antarmoda. ”Kenapa integrasi jadi penting? Supaya orang mendapat kemudahan dalam bepergian. Masalah integrasi ini penting. Kedua dari hal itu, diminta ada percepatan pengambil keputusan. Makanya, muncul bahasan tentang badan otorita. Namun, itu masih ada tahapan lagi. Masih akan ada rapat lagi,” ujarnya.
Menurut Bambang, tentang badan otorita itu masih akan bergulir. ”Ini masih wacana, tetapi mulai digulirkan supaya bisa memberi masukan ke gubernur. Karena ada tiga kerangka yang harus diperhatikan, yaitu kelembagaan, pendanaan dan regulasi. Uang saja tidak cukup. Harus ada regulasi dan kelembagaan. Itu yang perlu diperhatikan,” ucapnya.
Adapun wacana tentang badan otorita baru muncul karena BPTJ yang sekarang tidak memiliki kewenangan dan pendanaan yang kuat. ”Kita terbatas kemampuannya meski secara regulasi oke, tetapi lembaga belum kuat. Lembaga masih mengoordinasikan, tetapi dia tidak sesuai tujuan awal, yaitu untuk melaksanakan masterplan yang begitu luar biasa perlu badan,” kata Bambang.
Iskandar Abubakar, Kepala DTKJ, mengatakan, hasil dari FGD tersebut akan disampaikan kepada Gubernur DKI sebagai rekomendasi. Itu karena, meski Gubernur DKI sudah ditunjuk Presiden menjadi pihak yang memimpin mengatasi macet di Jabodetabek, ia tidak memiliki wewenang di provinsi lain.