DEPOK, KOMPAS -- Ombudsman Republik Indonesia Jakarta Raya merilis laporan investigasi yang menyebutkan adanya dugaan maladministrasi dan pungutan liar di Rumah Tahanan Kelas II Depok, Jawa Barat. Temuan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan tata tertib di rumah tahanan.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Jakarta Raya, Teguh P Nugroho mengatakan, berdasarkan hasil investigasi tertutup itu Ombudsman menemukan sejumlah pelanggaran maladministrasi dan menduga adanya pungutan liar. Salah satu poin temuan disebutkan bahwa, keluarga pengunjung kerap memberi sesuatu ke pihak lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) dan pesanan petugas lapas atau rutan. Ombudsman menyarankan Kepala Rutan tidak diskriminatif dalam memberikan layanan.
"Dalam hal ini pembatasan komunikasi antara petugas dan pengunjung lapas harus dilakukan. Sehingga, tidak ada diskriminasi dalam memperlakukan warga binaan pemasyarakatan (WBP) sesuai dengan Pasal 34 huruf O Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik," tutur Teguh, Selasa (5/3/2019) kepada Kompas.
Dalam temuan juga disebutkan, di rutan itu ada pengenaan biaya kunjungan dengan kisaran Rp 25.000 – Rp 150.000 setiap kali kunjungan. Uang itu disetorkan kepada kepala kamar.
Selain itu, Ombudsman menemukan adanya penetapan tarif untuk penempatan kamar tahanan. Berdasarkan tarifnya, kamar tahanan dibagi ke dalam beberapa kelas dari kelas A sampai dengan F. Harga kamar A merupakan yang termahal yakni, Rp 2 juta – Rp 8 juta untuk sekali bayar serta iruan kamar per minggu sebesar Rp 50.000 – Rp 100.000 yang dibayarkan kepada petugas rutan.
Menurut Teguh, dalam investigasi tersebut ada temuan terkait pihak keluarga WBP dapat mengirimkan uang kepada WBP melalui rekening Bank 0081190005845795 atas nama Marta Sutanto yang kemudian dialihkan ke rekening Bank 0146330988884 atas nama PT. Anugerah Vata Abadi (Koperasi) dengan potongan 5% setiap transaksi. Bahkan, petugas yang melakukan pemeriksaan melakukan pembiaran terhadap pengunjung yang membawa uang
dalam jumlah besar di atas Rp 10 juta guna pembayaran fasilitas yang akan diperoleh WBP dalam rutan.
"Padahal, dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan Negara Pasal 4 huruf a disebutkan bahwa, setiap narapidana atau tahanan dilarang mempunyai hubungan keuangan dengan narapidana atau tahanan lain maupun dengan petugas pemasyarakatan. Pembiaran masuknya uang dalam jumlah besar ke lapas ini akan memicu adanya pungutan liar," tambah Taguh.
Selain itu, Ombudsman menemukan adanya dugaan tindakan asusila di ruang kunjungan. Adanya perilaku tahanan dan dan para pengunjung yang melakukan tindakan asusila baik di Ruang Kunjungan maupun di Ruang Ramah anak dinilai dapat berdampak buruk pada tingkat perkembangan anak secara psikologi dan telah melanggar aturan tata tertib lapas.
Dalam pemberian layanan pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat petugas juga melakukan pungutan liar dengan dua cara yang disebut sebagai jalur cepat dan jalur semi cepat. Biaya yang dikenakan untuk jalur cepat senilai lebih dari Rp 5 juta. Setelah membayar Para WBP mendapatkan haknya sesuai perhitungan Badan Pemasyarakatan dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat dengan mendapatkan surat keputusan dalam waktu yang relatif cepat. Sehingga, WBP mendapatkan jadwal kepastian keluar dari Rutan.
Adapun untuk jalur semi cepat, tahanan harus membayar sebesar Rp 1 juta dengan melalui beberapa tahapan sidang oleh Petugas Bapas. Proses pada jalur semi cepat ini dinilai lebih bertele-tele. "Sementara itu, bagi WBP yang mengajukan PB atau CB tanpa membayar biaya tertentu, berkas persyaratannya tidak diproses dengan cepat dan seringkali ditahan petugas sampai WBP membayarkan uang dengan jumlah tertentu," ucap Teguh.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut Ombudsman menilai bahwa pengawasan dan penegakan tata tertib di rutan lemah. Mereka juga menganggap kepala rutan belum optimal dalam melakukan pencegahan terjadinya maladministrasi dengan tidak melakukan antisipasi.
Mengacu pada pasal 18 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2015 tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan disebutkan petugas rutan perlu melakukan pengendalian lingkungan untuk memastikan keamanan dan ketertiban di steril area serta memantau lalu lintas orang di rutan.
Hukuman
Menanggapi hal itu, Kepala Rutan Kelas II B Depok, Jawa Barat Bawono Ika Sutomo mengatakan, pihaknya akan melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap temuan ombudsman tersebut. Jika terbukti ada pelanggaran, Bawono tidak segan memberikan hukuman kepada petugas yang terlibat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Ombudsman meminta kami untuk menunjukkan upaya konkret dalam memperbaiki diri. Itu adalah hal yang akan kami lakukan sembari menggali lebih lanjut temuan-temuan tersebut," tutur Bawono.
Supaya adanya pungutan liar tidak terjadi lagi di lingkungan rutan, Bawono berencana memperketat pengawasan terhadap peredaran uang di dalam rutan. Pembatasan jumlah uang WBP juga akan dilakukan.
"Mungkin pemakaian uang virtual akan kami berlakukan. Hal itu memungkinkan kami untuk bisa mengawasi dan membatasi peredaran uang. Dengan begitu, kemungkinan adanya pungli dapat diminimalkan," pungkas Bawono.
Saat ini jumlah WBP di Rutan Kelas II Depok sebanyak 1.600 orang. Sementara itu, petugas rutan berjumlah 91 orang. Artinya, satu petugas memiliki tanggungjawab mengawasi 18 WBP.