Gerak Bersama Media Arus Utama dan Publik Kunci Menangkal Hoaks
Media arus utama bersama masyarakat perlu bergerak bersama guna menangkal distribusi kabar bohong, khususnya di media sosial.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA/GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Media arus utama bersama masyarakat perlu bergerak bersama guna menangkal distribusi kabar bohong, khususnya di media sosial. Hal ini perlu dilakukan karena Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dinilai belum optimal menghapus produksi kabar bohong dan ujaran kebencian.
Hal itu menjadi benang merah Diskusi Kompas dengan tema ”Berita Hoaks dan Pemilu Indonesia: Dampak UU ITE bagi Kebebasan Berekspresi” di Kantor Kompas Biro Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (4/3/2019). Hadir sebagai pembicara Direktur Asia Centre James Gomez, Direktur Tamborae Institue Wisnu T Hanggoro, dan Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Semarang Aris Mulyawan.
Gomez, yang juga pengajar jurusan media sejumlah universitas di Thailand, Singapura, dan Australia, mengatakan, kampanye perang terhadap kabar bohong mesti dilakukan secara simultan. Perusahaan penyedia teknologi juga mesti mengambil peran mendeteksi pesan-pesan di media sosial.
”Facebook, misalnya, tetap membutuhkan tenaga manusia untuk mendeteksi ujaran kebencian karena setiap kultur punya latar belakang sendiri,” ujarnya.
Menurut Gomez, untuk melawan peredaran kabar palsu, jurnalisme berkualitas perlu ditonjolkan. Hal tersebut juga sebenarnya didukung perusahaan teknologi informasi Google, yang memunculkan berita dan media tepercaya di mesin pencari.
Namun, lanjutnya, upaya tersebut terbentur ketertarikan masyarakat luas terhadap kabar bohong. Jurnalisme berkualitas kerap kali dianggap tak cukup atraktif. Hal ini justru menjadi tantangan media arus utama untuk menyajikan berita yang sahih sekaligus atraktif.
Direktur Tamborae Institute Wisnu T Hanggoro mengatakan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum menjamin berhentinya produksi kabar bohong dan ujaran kebencian. Wisnu, yang pernah menjadi bagian dari Southeast Asian Press Alliance di Bangkok, Thailand, menambahkan, UU ITE masih kerap jadi alat penguasa untuk menekan kebebasan ekspresi, termasuk di bidang jurnalistik.
Dia menyoroti, UU ITE jadi alat hukum paling mudah untuk menjerat masyarakat yang berlainan pendapat dengan pihak lain. Di Indonesia, fenomena ini terbukti selalu berulang setiap menjelang pemilu. Untuk itu, Wisnu mendorong masyarakat tetap mengawasi dan mengkritisi penerapan UU tersebut.
Dua sisi
Meski digunakan untuk menindak para pelaku ujaran kebencian atau penyebar kabar bohong, UU ITE juga dikhawatirkan dapat mengancam kebebasan pers. ”Yang dikhawatirkan, peraturan itu dimanfaatkan untuk menghancurkan kerja jurnalisme,” kata Wisnu.
Ia menambahkan, di negara-negara Asia Tenggara terdapat beberapa kecenderungan kesamaan, di antaranya masih terjadi kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan jurnalis. Bahkan ada negara yang kepala negaranya dipilih secara demokratis, tetapi justru kemudian tak mendukung kebebasan pers.
Maraknya distribusi kabar bohong, menurut peneliti Lembaga Studi Pers dan Informasi Lilik Budihastuti Wiratmo, di antaranya juga dilatarbelakangi pergeseran literasi. Di kalangan mahasiswa, sangat sedikit yang mengatakan masih mengakses media massa, termasuk televisi. Mereka lebih banyak mengonsumsi media sosial, bahkan untuk mengakses berita.
Sementara itu, Aris Mulyawan menuturkan, sudah banyak kasus yang menjerat wartawan dengan UU ITE. Bahkan, berita yang dipermasalahkan sebenarnya sudah dibuat dengan peliputan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik. Kasus-kasus semacam itu semestinya ditangani menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
”Para pelapor diharapkan melapor ke Dewan Pers. Yang menjadi persoalan, pada kasus wartawan Serat.id di Semarang, misalnya, informasi sudah tersebar ke Facebook, yang notabene ada di luar ranah Dewan Pers. Dunia media sosial ini yang masih jadi kegamangan di kalangan jurnalis,” kata Aris.