Partisipasi Lebih Rendah di Dapil Kaya
Kajian terhadap kegiatan ekonomi di daerah pemilihan legislatif mengindikasikan adanya korelasi ”negatif” antara tingkat ekonomi di satu wilayah dan tingkat partisipasi pemilih. Ini bisa menjadi bahan refleksi bagi penyelenggaraan Pemilu 2019.
Korelasi ”negatif” itu bermakna daerah yang ekonominya atau tingkat kesejahteraannya baik cenderung memiliki tingkat partisipasi pemilih yang rendah. Begitu pula sebaliknya. Daerah yang ekonominya relatif rendah cenderung memiliki tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Tingkat kesejahteraan satu daerah tecermin dari produk domestik regional bruto atau PDRB wilayah itu.
Analisis terhadap 80 daerah pemilihan (dapil) di Pemilu 2019 menunjukkan adanya wilayah politik dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan wilayah dengan tingkat kesejahteraan rendah. Sebanyak 15 dapil memiliki nilai PDRB tahun 2016 di atas Rp 200 triliun, 28 dapil mempunyai PDRB antara Rp 100 triliun dan Rp 200 triliun, dan 37 dapil memiliki nilai PDRB di bawah Rp 100 triliun.
Di antara 15 dapil ”kaya” itu, posisi teratas diduduki Dapil DKI Jakarta 2, disusul berurutan oleh Dapil DKI Jakarta 3, Jawa Timur 1 (peringkat ke-3), Kalimantan Timur, dan Jawa Barat 7. Dapil Kaltim menjadi satu-satunya dapil di luar Jawa yang masuk lima besar dapil ”terkaya”. Nilai PDRB lima dapil itu jika digabung bisa mencapai Rp 3.414 triliun atau hampir 27 persen dari total PDRB 80 dapil Rp 12.692 triliun.
Bandingkan dengan lima dapil dengan tingkat kesejahteraan terendah yang memiliki total PDRB ”hanya” Rp 161 triliun atau 1,3 persen dari PDRB 80 dapil. Lima dapil itu ialah Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur 1, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Jawa Barat 3.
Dari aspek politik, wilayah dengan konsentrasi ekonomi tinggi ditandai dengan rendahnya partisipasi pemilih. Pada Pemilu 2014, tingkat partisipasi pemilih di lima dapil terkaya berada di kisaran 66,35 hingga 73,04 persen, di bawah rata-rata partisipasi pemilih di semua dapil sebesar 75,11 persen.
Sebaliknya, empat dari lima dapil dengan tingkat ekonomi terendah justru menunjukkan partisipasi pemilih yang tinggi. Pada Pemilu 2014, empat dapil itu memiliki tingkat partisipasi pemilih di atas 80 persen. Hanya Dapil Jawa Barat 3 yang partisipasi pemilih di bawah rata-rata partisipasi dari 77 dapil, yakni 72,38 persen (pada Pemilu 2014 ada 77 dapil).
Dapil Jakarta 2
Rendahnya partisipasi pemilih di lima dapil terkaya ini menunjukkan daerah yang tergolong baik dari sisi ekonomi tidak menjamin penduduknya tertarik mengikuti pemilu.
Menilik lebih jauh wilayah terkaya, Dapil Jakarta 2 yang mencakup Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan pemilih di luar negeri itu layak disebut sebagai dapil tervital. Letaknya yang persis di jantung ibu kota RI membuat Dapil Jakarta 2 ini sangat strategis.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Dapil Jakarta 2 mencapai 6,18 persen pada periode 2013-2017 dan masuk peringkat 16 besar dari 80 dapil. Persentase penduduk miskinnya juga tergolong rendah dibandingkan dapil lainnya. Rata-rata persentase kemiskinannya hanya 3,46 persen, jauh di bawah rata-rata 80 dapil, sebesar 11,2 persen. Kualitas sumber daya manusia juga terbaik. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2017 wilayah ini menempati urutan pertama dari 80 dapil di Indonesia.
Di bidang politik, bertolak dari hasil Pemilu 2014, Dapil Jakarta 2 justru menjadi dapil dengan tingkat partisipasi keempat terendah pada Pemilu 2014, yaitu 66,19 persen, jauh di bawah rata-rata nasional, 75,57 persen.
Kendati partisipasi politik relatif rendah, Dapil Jakarta 2 tampaknya akan jadi medan pertarungan ketat antarcalon anggota legislatif. Dapil DKI Jakarta 2 hanya memiliki tujuh kursi untuk DPR, sedangkan jumlah caleg yang terdaftar 105 orang. Artinya akan ada 98 caleg yang akan gagal melenggang ke Senayan di dapil ini.
Pada Pemilu 2019, baik caleg wajah lama maupun caleg wajah baru akan bersaing ketat. Di Dapil Jakarta 2 setidaknya ada enam caleg petahana yang mencalonkan diri kembali. Enam caleg petahana itu ialah Muhammad Hidayat Nur Wahid (PKS), Eriko Sotarduga (PDI-P), Masinton Pasaribu (PDI-P), Biem Triani Benjamin (Gerindra), Melani Leimena Suharli (Demokrat), dan Lena Maryana (PPP).
Di antara wajah baru ada caleg seperti Tsamara Amany dari PSI dan Liliana Tanaja, istri pengusaha Hary Tanoesoedibjo dari Perindo, yang juga bertarung memperebutkan kursi di dapil ini. Bagi caleg-caleg pendatang baru, mereka mesti berjuang keras untuk mempromosikan nama mereka di antara caleg petahana.
Dapil Maluku Utara
Berbeda dengan Dapil Jakarta 2, daerah pemilihan Maluku Utara merupakan wilayah politik dengan tingkat kesejahteraan terendah. Nilai kegiatan ekonominya hanya seperlima dari nilai rata-rata PDRB 80 dapil di Indonesia. PDRB dapil Maluku Utara tahun 2016 hanya Rp 29,27 triliun.
Dapil Maluku Utara meliputi Halmahera Barat, Kota Ternate, Halmahera Utara, Pulau Morotai, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Kota Tidore Kepulauan, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, dan Pulau Taliabu.
Sepanjang 2013-2017, laju pertumbuhan ekonomi dapil Maluku Utara relatif tidak stabil. Tahun 2013, laju pertumbuhan daerah ini masih di kisaran 6,28 persen, sedangkan tahun 2016 turun menjadi 5,77 persen. Perekonomian Maluku Utara mulai membaik pada 2017 dengan angka pertumbuhan menyentuh 7,67 persen.
Tampaknya rendahnya tingkat kesejahteraan itu tidak terlepas dari penyebaran penduduk yang relatif tak merata dan hanya terpusat pada pulau-pulau kecil. Sementara beberapa pulau besar dan sedang tidak mengalami peningkatan yang berarti seperti di Kepulauan Sula dan Halmahera dan beberapa pulau di Halmahera Selatan.
Sementara itu, angka kemiskinan di dapil Maluku Utara terbilang rendah, berada di urutan ke-59 dari 80 dapil, yakni 7,75 persen. Nilai IPM dapil Maluku Utara menduduki peringkat ke-69 dari 75 dapil, sedangkan tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2018 masih 4,77 persen.
Bagaimana dengan pemilu legislatif mendatang? Bertolak dari hasil Pemilu 2014, dapil Maluku Utara meninggalkan catatan baik perihal perilaku memilih. Angka partisipasi pemilih tergolong tinggi, 82,83 persen, atau peringkat ke-6 dari 77 dapil di Pemilu 2014.
Jika dilihat dari komposisi anggota legislatif 2014 dan caleg 2019, hampir separuhnya berasal dari luar dapil. Pada Pileg 2014, 16 dari 36 caleg berasal dari luar Maluku Utara.
Tiga kursi DPR RI akan diperebutkan oleh 46 caleg di Provinsi Maluku Utara pada Pemilu April 2019. Adapun pada Pileg 2019, jumlah caleg dari luar dapil bertambah menjadi 21 orang.
Tingginya partisipasi pemilih di dapil-dapil semacam ini menunjukkan relatif rendahnya kemampuan perekonomian tidak mengurungkan minat warganya berpartisipasi dalam pesta demokrasi.