SEMARANG, KOMPAS — Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meyakini perjanjian perdagangan Indonesia dan Australia bakal lebih banyak membawa keuntungan. Kendati keran impor bakal lebih terbuka, ekspor produk Indonesia juga terus dipacu sehingga muncul peluang peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Enggartiasto, perjanjian kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Australia perlu dilihat secara menyeluruh. Dengan membuka diri, akan banyak keuntungan. Sebaliknya, jika tertutup, peluang ekspor pun tertutup. Kesempatan itu dapat diserobot negara lain.
”Bahwa produk Australia masuk, iya. Namun, produk kita juga keluar. Kita pacu ekspor,” ujar Enggartiasto di sela-sela bincang ”Peranan Teknologi Informasi pada Era Revolusi Industri 4.0” di Balairung Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, Selasa (5/3/2019).
Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Australia (IA-CEPA) ditandatangani Enggartiasto serta Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham, Senin (4/3/2019) di Jakarta. Hal itu dilakukan setelah perundingan selama 9 tahun melalui 12 putaran negosiasi,
Penandatanganan itu disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan. Kalla mengingatkan, IA-CEPA tak akan berarti jika tak diimplementasikan secara efektif. Pada 2018, ekonomi kedua negara menyumbang lebih dari 2,4 triliun dollar AS terhadap produk domestik bruto dunia (Kompas, 5/3/2019).
Total nilai perdagangan Indonesia-Australia pada 2018 sebesar 8,6 miliar dollar AS. Ekspor Indonesia ke Australia antara lain minyak bumi, rokok, kayu, layar monitor dan proyektor, ban, serta alas kaki. Adapun ekspor Australia ke Indonesia antara lain minyak bumi, gandum, batubara, sapi, dan pasir besi.
Enggartiasto menyatakan, keuntungan yang didapat dengan adanya kerja sama perdagangan dengan Australia antara lain dalam hal pelatihan vokasi serta mendapat 4.200 working holiday visa (WHV), atau visa untuk kerja dan liburan sekaligus pada tahun pertama kerja sama.
”Selain itu, kerja sama ini juga akan menambah penciptaan lapangan kerja. Di samping itu, kita terus memperkecil defisit perdagangan Indonesia dengan Australia. Contoh paling besar adalah mobil. Dengan tutupnya pabrik Holden di Australia, kita kejar ini (ekspor). Kita dapat prioritas,” katanya.
Terkait kekhawatiran akan ancaman peternakan dalam negeri, Enggartiasto menyatakan, selama ini Indonesia memang mengimpor daging sapi. ”Ini soal hukum supply and demand. Jika tidak, harga akan sangat tinggi. Impor bukan barang haram. Ekspor-impor satu keniscayaan,” ujar Enggartiasto.
Lebih lanjut, Enggartiasto menyatakan, Indonesia tidak boleh menutup diri. Ia mencontohkan Turki yang memiliki perjanjian perdagangan dengan Malaysia, tetapi tidak dengan Indonesia. Pasar ekspor ke Turki pun akhirnya diambil Malaysia sehingga ada kerugian besar bagi Indonesia.
Rektor UKSW Neil Semuel Rupidara menyatakan, pertumbuhan dan perkembangan Indonesia, termasuk dalam bidang ekonomi, tak bisa dilepas dari investasi di bidang pendidikan. Lewat investasi ini, dampak yang dirasakan bakal datang pada generasi berikutnya. Untuk itu, pemerintah mesti lebih berani berinvestasi di bidang pendidikan.