Pilar Penting RI-Australia
Perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia dan Australia menandai babak baru hubungan bilateral kedua negara. Ratifikasi akan menjadi penentu perjanjian.
Jakarta, kompas Setelah berunding selama 9 tahun melalui 12 putaran negosiasi, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Australia (IA-CEPA) akhirnya ditandatangani, Senin (4/3/2019) di Jakarta. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan, IA-CEPA tidak akan berarti jika tak diimplementasikan secara efektif.
Penandatanganan dilakukan Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita serta Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham. Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan hadir menyaksikan acara itu. Kedua belah pihak menargetkan ratifikasi aturan selesai pada akhir tahun ini sehingga implementasi perjanjian kemitraan itu bisa dilakukan mulai awal 2020.
Enggartiasto menyatakan, Indonesia dan Australia adalah dua kekuatan ekonomi yang besar. Pada 2018, ekonomi kedua negara menyumbang lebih dari 2,4 triliun dollar Amerika Serikat (AS) terhadap produk domestik bruto dunia.
”Indonesia dan Australia jelas merupakan partner strategis yang harus bekerja sama. Dan karena itulah mengapa hubungan bilateral kedua negara menjadi sangat penting bagi kedua belah pihak,” kata Enggartiasto.
Total nilai perdagangan Indonesia dan Australia pada 2018 mencapai 8,6 miliar dollar AS. Ekspor Indonesia ke Australia antara lain minyak bumi, rokok, kayu, layar monitor dan proyektor, ban, serta alas kaki. Sementara ekspor Australia ke Indonesia antara lain minyak bumi, gandum, batubara, sapi, dan pasir besi.
”Dengan semua itu, saya pikir Indonesia dan Australia telah melakukan kerja sama ekonomi yang baik sejauh ini tetapi belum cukup besar untuk ukuran dua ekonomi yang sebesar sekaligus sedekat Indonesia dan Australia,” kata Enggartiasto. Ekspor Indonesia ke Australia pada 2018 hanya 1,2 persen dari total impor Australia. Adapun ekspor Australia ke Indonesia hanya 3,1 persen dari total impor Indonesia.
Negosiasi IA-CEPA pertama kali digelar pada akhir 2010. Mulai November 2013 sampai dengan Maret 2016 negosiasi dihentikan. Baru pada periode berikutnya, negosiasi dilanjutkan. Cakupan IA- CEPA meliputi bidang perdagangan, jasa, e-commerce, investasi, kerja sama ekonomi, kompetisi, dan kontrak legal.
Dengan perjanjian itu, 100 persen tarif di negara Australia akan dihapus. Pada saat yang sama, 94 persen tarif di Indonesia akan dihapus secara bertahap. Industri besar yang akan mendapatkan keuntungan dari CEPA tersebut antara lain otomotif, tekstil, alas kaki, agrobisnis, makanan dan minuman, serta furnitur. Di bidang jasa dan investasi, kedua negara akan sama-sama mendapatkan akses yang lebih baik. Hal ini terutama menyangkut mobilitas tenaga kerja profesional.
Kalla mendorong kedua belah pihak harus segera menindaklanjuti penandatanganan IA-CEPA itu. Pertama adalah ratifikasi aturan pada masing-masing negara. Kedua adalah sosialisasi dan advokasi kepada seluruh pemangku kepentingan. Ketiga, menyusun program kerja sama yang bagus. Keempat adalah mengintensifkan forum-forum bisnis guna menciptakaan pemahaman yang lebih luas di antara kedua belah pihak.
Wawancara
Terkait IA-CEPA, secara khusus Kompas dan The Jakarta Post mendapatkan kesempatan wewawancarai Menteri Simon Birmingham, berikut petikannya.
Bagaimana Anda melihat hubungan Indonesia-Australia selanjutnya dengan penandatanganan IA-CEPA ini?
IA-CEPA adalah pilar baru dalam hubungan kedua negara secara keseluruhan. Hubungan bisnis melalui perdagangan dan pengembangan kecakapan melalui pelatihan- pelatihan, hubungan ekonomi diperkuat dan hubungan kedua negara akan semakin dekat. Selama ini hubungan kedua negara sudah kuat tetapi dengan perjanjian kemitraan ini, rasa saling pengertian akan lebih kental terbangun antara Indonesia dan Australia dengan kesempatan di semua tingkatan.
Dari sudut pandang Australia, apa saja bentuk peluang dari penandatanganan perjanjian kemitraan ini?
Kami senang dengan kesempatan yang diberikan dalam bentuk kerja sama-kerja sama produk dan jasa yang dapat dikembangkan bersama-sama. Misalnya biji gandum diubah menjadi tepung gandum, lalu menjadi mi dan pada akhirnya dapat diekspor Indonesia. Juga bijih besi yang didatangkan ke sini. Ada sebuah kondisi saling menguntungkan dalam derap laju yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk sektor jasa. Investasi dan kerja sama pelatihan di bidang pariwisata, misalnya, berpotensi dikembangkan. Banyak kesempatan dibuka dan dikembangkan, tidak semata untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga membuka banyak lapangan kerja bagi pemuda Indonesia.
Perjanjian kemitraan ini membutuhkan ratifikasi. Bagaimana jaminan itu dapat diperoleh dengan kemungkinan pergantian pemerintahan, misalnya?
Proses ratifikasi di masing- masing negara memang membutuhkan waktu. Saya bersama Bapak Enggartiasto bersama-sama menyampaikan keyakinan kami terkait proses itu. Di Australia, misalnya, ada proses yang harus dilalui di parlemen. Kami senang mengatakan, oposisi di Australia secara umum positif terhadap perjanjian kemitraan yang baru saja ditandatangani. Ini menjadi sebuah indikasi kuat bahwa kita akan mendapatkan dukungan ratifikasi hingga pelaksanaannya.
Dari perjanjian kemitraan ini, akan lebih banyak hubungan orang per orang, antarpelaku bisnis. Di samping peluang, apakah ada kekhawatiran terkait keamanan wilayah, misalnya terkait terorisme, dan bagaimana hal-hal itu diantisipasi?
Australia percaya diri sejak awal dalam berproses hingga mencapai penandatanganan perjanjian kemitraan ini, termasuk dalam hal keamanan bagi wilayah kami. Kami melakukan dan mempertahankan standar-standar kami, termasuk di bidang keamanan. Kami menyambut baik kedatangan lebih banyak warga Indonesia ke Australia, baik sebagai turis maupun dalam hal terkait aktivitas lain, seperti pelatihan dan bekerja. Di bidang keamanan, kami juga terus memperkuat kerja sama kami, termasuk dengan Indonesia. Jadi, hal-hal seperti itu akan sama-sama penting sifatnya bagi kedua negara.
(E05/LAS)