Uji materi terhadap UU Pemilu diajukan sejumlah pihak untuk menyelamatkan hak pilih warga yang terancam pada Pemilu 2019. Proses yang cepat di MK amat dibutuhkan karena pemungutan suara kurang dari dua bulan lagi.
JAKARTA, KOMPAS —Uji materi terhadap sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi mulai dilakukan sejumlah pihak untuk menyelamatkan hak pilih warga negara yang terancam hilang pada Pemilu 2019. MK diharapkan dapat cepat memeriksa dan memutus uji materi ini. Dengan demikian, Komisi Pemilihan Umum punya cukup waktu untuk menyiapkan aturan teknis dan menyosialisasikan putusan MK tersebut ke jajaran KPU di daerah ataupun peserta pemilu dan pemilih.
Dalam catatan Kompas, ada beberapa persoalan yang mengancam hak pilih warga pada pemilu 17 April mendatang. Persoalan itu, antara lain, penumpukan pemilih pindahan yang masuk daftar pemilih tambahan (DPTb) di daerah tertentu. Keadaan ini berpotensi membuat para pemilih pindahan itu tak bisa memilih karena terbatasnya jumlah surat suara di tempat pemungutan suara (TPS). KPU tidak bisa langsung mencetak surat suara tambahan karena UU Pemilu menyatakan, KPU mencetak surat suara sejumlah pemilih di daftar pemilih tetap (DPT) ditambah 2 persen surat suara cadangan. Selain itu, masih ada warga yang belum masuk DPT, tetapi juga tidak bisa memilih melalui jalur daftar pemilih khusus karena tidak tinggal di alamat yang sesuai dengan KTP elektroniknya.
Pendataan pemilih berbasis KTP-el juga membuka peluang ada pemilih yang tidak bisa memilih karena mereka belum punya KTP-el. Ini termasuk para pemilih pemula yang berulang tahun ke-17 tepat pada hari pemungutan suara.
Sebagian persoalan itu sedang dicari jalan keluarnya, salah satunya lewat uji materi ke MK. Hari ini, Selasa (5/3/2019), tiga pemohon mengajukan uji materi ke MK, yakni Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini; Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari; serta mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay.
Ketiga pemohon yang diwakili kantor hukum Integrity (Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society) itu menguji konstitusionalitas ketentuan dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu yang dianggap berpotensi mengancam hak pilih.
Senior Partner Integrity Denny Indrayana mengatakan, Integrity sedikitnya menguji empat ketentuan dalam UU Pemilu. Pertama, soal kewajiban pemilih menggunakan KTP-el. Kedua, menguji ketentuan yang menyebabkan pemilih yang berpindah TPS kehilangan hak memilih calon anggota legislatif. Ketiga, menguji aturan yang membatasi waktu pindah memilih 30 hari sebelum pemungutan suara. Keempat, menguji ketentuan penghitungan harus selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara.
Permohonan itu jadi perkara kedua yang diterima MK terkait hak pilih warga negara. Sebelumnya, dua mahasiswa di Bogor, Jawa Barat, mengajukan uji materi ke MK terkait Pasal 210 Ayat (1), (2), (3); Pasal 344 Ayat (2); dan Pasal 348 Ayat (4) UU Pemilu. Pasal-pasal itu mengatur ketentuan pindah memilih dan batasan pencetakan surat suara pemilu.
Solusi
Anggota KPU, Viryan Aziz, mengapresiasi upaya publik mengajukan uji materi ke MK karena membantu KPU menghadirkan solusi bagi sejumlah persoalan terkait hak pilih. ”KPU siap jadi pihak terkait atas uji materi itu,” katanya.
KPU berharap uji materi UU Pemilu itu segera diputus oleh MK sehingga KPU bisa menyesuaikan tahapan yang sedang berlangsung. Apa pun putusan MK akan berdampak pada tahapan Pemilu 2019.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, M Afifuddin, mengatakan, pengajuan uji materi
ke MK bisa jadi merupakan solusi. Namun, KPU diharapkan menyikapi apa pun putusan MK dengan hati-hati dan teliti.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, cepat tidaknya MK dalam memutus perkara itu amat bergantung pada bagaimana pemohon meyakinkan MK agar perkara tersebut diputus
cepat.
”Putusan KTP dulu (penggunaan KTP untuk memilih pada Pemilu 2009) cepat karena ada ancaman negara khaos karena dua calon presiden akan mundur dari pencalonan jika DPT tidak segera dibenahi. Konstitusi tidak memberi jalan jika di pilpres ada calon tunggal,” kata Fajar.
Achmad Baidowi, anggota Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, berharap, MK memprioritaskan proses uji materi UU Pemilu mengingat waktu semakin singkat dan ini menyangkut hak konstitusional warga. Namun, dia juga mendorong KPU menyiapkan langkah antisipasi.
Hal senada disampaikan Yandri Susanto, Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. ”Sekarang bolanya di MK. Kita lagi berpacu dengan waktu dan ini menyangkut hak dasar pemilih,” katanya. (REK/AGE/INK)