Sektor Perdagangan Tertekan, Indonesia Tetap Berpeluang Tumbuh
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan global masih akan menerpa Indonesia, terutama di sektor perdagangan. Meski demikian, Indonesia tetap memiliki peluang untuk menumbuhkan industri dalam negeri sekaligus mencari pasar ekspor baru.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam paparan bersama RSM Indonesia di Jakarta, Senin (4/3/2019), mengatakan, kondisi global masih belum akan bersahabat untuk semua negara, termasuk Indonesia. ”Kalau tahun lalu dampak dari global lebih banyak dirasakan di dunia keuangan, mulai triwulan IV lalu akan lebih terasa dari sisi perdagangan. Jadi, kalau tahun lalu masalahnya tantangan finansial, sekarang adalah soal perdagangan,” kata Perry.
Tekanan di sektor perdagangan salah satunya datang dari Amerika Serikat yang tahun lalu tumbuh 2,9 persen. Namun, pertumbuhan yang tinggi tersebut diperkirakan tidak akan terjadi tahun ini. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat diproyeksikan hanya 2,3 persen, bahkan sebagian kalangan memprediksi di bawah itu.
Masalahnya, lanjut Perry, Amerika Serikat masih menjadi tujuan ekspor industri manufaktur dari Indonesia. Kondisi serupa terjadi di China, yang tahun ini diproyeksikan pertumbuhannya sekitar 6,3 persen. Padahal, salah satu negara tujuan ekspor Indonesia adalah China. Ditambah lagi perang dagang, terutama antara Amerika Serikat dengan China, hal itu semakin membuat kondisi memburuk.
Meski kondisi global tidak kondusif, ekonomi Indonesia memperlihatkan tidak hanya stabil, tetapi juga tumbuh. Aliran modal keluar hingga triwulan III-2018 telah berbalik kembali pada triwulan IV-2018. Dengan proyeksi Bank Sentral AS hanya akan menaikkan suku bunganya sekali saja tahun ini, tekanan ke pasar keuangan dalam negeri tidak akan sebesar tahun lalu.
Sementara ekonomi Indonesia juga tetap tumbuh. Meski pertumbuhan ekonomi tahun lalu 5,17 persen, sebenarnya komponen investasi tumbuh 6,67 persen dan konsumsi rumah tangga tumbuh 5,05 persen. Masalahnya, komponen ekspor hanya 6,45 persen, lebih kecil daripada komponen impor sebesar 12,04 persen.
”Memang dunia tidak ramah di jalur perdagangan karena Amerika Serikat dan China, tetapi kita tetap bisa mencari pasar lain. Jangan menyerah dan bersandar pada pasar komoditas, tetapi menarik penanaman modal asing (PMA) untuk pengolahan sumber daya alam. Membuat nilai tambah itu yang penting,” ujar Perry.
Berkaca dari pengalaman yang pernah terjadi Jepang dan Korea, ketika krisis terjadi relokasi industri dari negara-negara tersebut ke negara lain. Saat ini, relokasi industri dari China menjadi peluang untuk menangkapnya. Salah satu kawasan yang tengah dikembangkan untuk kawasan industri adalah di Morowali, Sulawesi Tengah. Selain itu, PMA di sektor konstruksi dan digital juga berpeluang besar untuk didatangkan.
Di sisi lain, Indonesia memiliki produk yang bisa ditingkatkan ekspornya, seperti otomotif dan gerbong kereta api. Tidak hanya itu, beberapa badan usaha milik negara (BUMN) juga telah mengerjakan proyek konstruksi di negara lain.
Tahun ini, Bank Indonesia memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh 5 persen sampai 5,4 persen dengan nilai tengah 5,2 persen. Menurut Perry, setidaknya untuk dua tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa naik cepat. Namun, setelah itu, Ia yakin pembangunan infrastruktur yang telah dikerjakan akan meningkatkan efisiensi dalam distribusi dan logistik. Ia optimistis, jika Indonesia konsisten dengan kebijakan yang ada, pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen akan dicapai.
Sementara itu, President UBS Asia Pacific Edmund Koh mengatakan, pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN tidak bisa terlepas dari pertumbuhan Indonesia. Tidak hanya karena jumlah penduduknya sekitar 40 persen dari total penduduk ASEAN sebesar 600 juta jiwa, tetapi karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cepat.
”Indonesia saat ini berbeda jauh dari 15 tahun tahun lalu, baik secara ekonomi, sosial, teknologi, maupun politik. Indonesia saat ini memiliki modal dasar menjadi negara maju, persis seperti China yang kemudian tumbuh pesat,” kata Koh.
Kondisi Indonesia tersebut, menurut dia, sesuai dengan klien UBS Asia Pasific yang sekitar 70 persennya mencari pasar untuk investasi jangka panjang. Investasi yang akan dijembatani untuk masuk ke Indonesia tersebut terkait dengan digital, sifatnya berkelanjutan, juga terkait pemberdayaan perempuan, serta terkait layanan (service).
Koh menambahkan, saat ini Indonesia sudah berada di jalur yang tepat untuk berkembang menjadi negara maju. Penduduk yang besar menjadi modal, di samping dorongan kuat dari pemerintah untuk meningkatkan investasi, konsumsi, dan ekspor.
Beberapa investor dari luar yang berminat untuk berinvestasi langsung (FDI) di Indonesia, antara lain, bergerak di sektor logistik, industri layanan, dan digital. Namun, investor yang hendak masuk Indonesia harus mengenali dan tahu cara berinvestasi di Indonesia.