JAKARTA, KOMPAS – Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Australia (IA-CEPA) telah ditandatangani dan ditargetkan berlaku efektif pada 2020. Namun sejumlah kalangan menilai, proses ratifikasi perjanjian itu sulit diselesaikan pada tahun politik ini.
“Ratifikasi IA-CEPA memang agak sulit diselesaikan tahun ini. Sebab, fokus dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini adalah pemilihan umum. Kalau pun terjadi pergantian kepemimpinan, berarti baru akan dibahas sekitar Oktober 2019,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Faisal saat dihubungi Kompas, Selasa (5/3/2019).
Pemerintah Indonesia dan Australia menandatangani IA-CEPA pada 4 Maret 2019 di Jakarta. Penandatangan itu dilakukan Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita dengan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham. Penandatanganan disaksikan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Dalam kesempatan itu, Engartiasto menyatakan, pemerintah siap bekerja bersama DPR dalam proses ratifikasi. “Harapannya, pada akhir tahun ini, sudah diratifikasi. Artinya, perjanjian itu akan mulai berlaku pada akhir tahun atau awal tahun 2020,” katanya. (Kompas.id, 4 Maret 2019)
Menurut Faisal, IA-CEPA bukan hanya sekadar perdagangan barang, namun ada jasa, investasi, serta kerja sama ekonomi yang lebih luas, maka perlu pembahasan secara komprehensif agar target menjadi jelas dan terukur. Koordinasi antarkementerian dan lembaga terkait juga penting untuk membahas secara rutin agar manfaat dari perjanjian menjadi maksimal.
Penilaian seperti itu juga datang dari Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti. Menurutnya, sebelum diratifiksi, pemerintah beserta DPR perlu menganalisis dampak perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah selesai dirundingkan.
Hal itu untuk menghitung secara presisi, dampak apa yang akan dirasakan oleh Indonesia ke depan juga memastikan hak rakyat Indonesia yang dilindungi dalam konstitusi tidak diabaikan bahkan dilanggar oleh perjanjian perdagangan internasional.
"Tanpa pertimbangan yang matang, ratifikasi IA-CEPA di masa pemilu akan membahayakan nasib rakyat Indonesia di kemudian hari," kata dia.
Tanpa pertimbangan yang matang, ratifikasi IA-CEPA di masa pemilu akan membahayakan nasib rakyat Indonesia di kemudian hari.
Sosialisasi
Meski demikian, Kamar Dagang Indonesia (Kadin) tetap optimistis ratifikasi IA-CEPA dapat diselesaikan tahun ini. Menurut Wakil Ketua Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani, proses ratifikasi seharusnya tidak perlu menunggu waktu yang lama.
“Untuk sampai ke tahap penandatanganan hingga ratifikasi, itu kan sudah memakan waktu sembilan tahun dan melalui dua belas perundingan. DPR tentu mengetahui hal ini, jadi kami harapkan proses ratifikasi segera selesai agar dapat segera memanfaatkan peluang yang ada,” ujar Shinta.
Aturan waktu terkait proses ratifikasi pun diatur dalam Undang-undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dalam Pasal 84 Ayat 4 dikatakan, apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR.
Lebih lanjut, Shinta mengatakan, sebagai upaya mendukung proses ratifikasi, Kadin bersama para pelaku usaha sudah memberikan semua masukan dalam proses negosiasi. Selain itu, sosialisasi mengenai pemanfaatan IA-CEPA juga terus dilakukan.
“Agar para pelaku usaha mengetahui peluang apa saja yang bisa didapatkan dari IA-CEPA, kami terus menyosialisasikan hal itu kepada para pelaku usaha di berbagai kota," kata dia.
Shinta menambahkan, sosialisasi itu akan dilakukan di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, serta kota lain yang memiliki pengaruh bisnis dengan Australia. Para pelaku usaha juga dapat memanfaatkan FTA Center untuk mendapatkan informasi apapun tentang pemanfaatan perjanjian internasional.
Keuntungan
Litbang Kompas mencatat, IA-CEPA diteken kedua negara setelah melalui 12 babak perundingan yang memakan waktu sekitar 9 tahun. Digagas pada 2010 pada era Susilo Bambang Yudhoyono, perjanjian itu sempat mandek pada 2013. Proses negosiasi baru dimulai lagi pada awal 2016.
Melalui perjanjian itu, kedua negara memiliki hubungan ekonomi yang lebih longgar. Hal tersebut itu tampak dari penghapusan hampir seluruh bea masuk di kedua negara yang makin mempermudah dan memurahkan biaya ekspor dan impor.
Tidak hanya memudahkan lalu-lintas barang, perjanjian IA-CEPA itu juga melancarkan masuknya arus modal. Perusahaan Australia yang menggeluti sektor seperti konstruksi, rumah sakit, pendidikan, energi, pengolahan limbah air, hingga transportasi maritim dapat memiliki saham 51-100 persen setelah dibentuknya IA-CEPA.
Bagi Indonesia, pentingnya IA-CEPA tidak hanya berhenti pada semakin mudahnya ekspor dan aliran investasi saja. Dibentuknya IA-CEPA menyediakan tempat bagi 200 pekerja Indonesia untuk mendapatkan pelatihan khusus di Australia selama 6 bulan setiap tahunnya.
Tidak hanya itu, visa bekerja dan berlibur bagi WNI pun ditingkatkan jumlahnya sebanyak lebih dari 4 kali lipat setelah berlakunya IA-CEPA. Harapannya, dengan program pelatihan serta kemudahan mobilitas, akan semakin banyak perusahaan Australia yang berminat terhadap tenaga kerja Indonesia yang berkualitas. (SHARON PATRICIA)