JAKARTA, KOMPAS - Di tengah tumpukan utang legislasi yang belum selesai dibahas, Dewan Perwakilan Rakyat berencana memotong masa persidangan dan mempercepat masa reses. Alasannya, menjelang hari pemungutan suara, persaingan kampanye pemilihan legislatif semakin sengit sehingga anggota DPR yang kembali mencalonkan diri harus lebih sering berada di daerah pemilih.
Padahal, masih ada 33 rancangan undang-undang yang menjadi tanggungan untuk dibahas DPR dan Pemerintah periode 2014-2019 sebelum masa jabat berakhir, Oktober 2019. Empat dari 33 RUU itu ditargetkan rampung di masa persidangan IV, yang akan berakhir pada 11 April 2019.
Wakil Ketua Fraksi PDI-Perjuangan Hendrawan Supratikno di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3/2019) mengatakan, ada rencana untuk memangkas masa persidangan dari 29 hari kerja menjadi 19 hari kerja, sehingga mempercepat masa reses. Masa persidangan yang awalnya dijadwalkan berakhir 11 April, dipercepat menjadi 28 Maret.
"Dugaan saya, ada masukan karena persiapan untuk pemilihan legislatif itu butuh persiapan lebih lama di lapangan. Ini sudah masuk masa-masa pembinaan dan pelatihan saksi, serta pemetaan data dapil, sehingga orang harus lebih seksama di lapangan," kata Hendrawan.
Ada rencana untuk memangkas masa persidangan dari 29 hari kerja menjadi 19 hari kerja, sehingga mempercepat masa reses. Masa persidangan yang awalnya dijadwalkan berakhir 11 April, dipercepat menjadi 28 Maret.
Usulan ini, ujarnya, akan dibahas dalam rapat konsultasi pimpinan pengganti Badan Musyawarah di DPR, Rabu (6/3/2019) ini. "Ini baru usulan, keputusannya tergantung kesepakatan fraksi-fraksi nanti saat rapat Bamus," katanya.
Tingkat kehadiran
Menurut Hendrawan, usulan itu wajar karena pertarungan menuju hari pemungutan suara semakin sengit. Ia mengatakan, tanpa pemotongan masa sidang pun, tinggal sedikit anggota DPR yang masih beraktivitas di Kompleks Parlemen di Senayan. Sisanya, lebih banyak menghabiskan waktu di daerah pemilihan untuk berkampanye atau berkonsolidasi dengan tim sukses.
"Taruhan sama saya, kalaupun masa sidang IV ini tetap sampai 11 April, saya jamin tidak ada orang (yang rapat di Senayan). Jangankan begitu, sejak daftar calon tetap (DCT) keluar September lalu saja, rapat di komisi bisa hanya dihadiri dua atau tiga orang," kata Hendrawan.
Menurut dia, target empat RUU yang hendak dikejar DPR di masa sidang ini sulit dicapai dengan kenyataan sibuknya anggota DPR di dapil.
"Itu sebabnya saya katakan, Pak Bambang Soesatyo (Ketua DPR) berani memasang target itu. Karena penyelesaian RUU itu sejatinya bukan hanya tergantung DPR saja, tetapi juga pemerintah. Kita jangan begitu yakin terhadap sesuatu yang tidak di dalam kendali kita," kata Hendrawan.
Sebelumnya, pada Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang IV Tahun Sidang 2018-2019, Senin (4/3/2019), Ketua DPR Bambang Soesatyo menargetkan DPR akan mengesahkan pembahasan empat RUU sebelum pemilu 17 April 2019 mendatang.
Keempat rancangan undang-undang tersebut adalah RUU Perkoperasian, RUU Ekonomi Kreatif, RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Umroh, dan Revisi Undang-Undang Persaingan Usaha dan Monopoli. Catatan Kompas, pembahasan keempat RUU ini sudah memakan waktu bertahun-tahun dan sudah diperpanjang di atas lima kali masa persidangan.
Dari empat RUU yang ditargetkan, setidaknya dua RUU dapat diselesaikan di akhir masa sidang ini, yaitu RUU Perkoperasian dan RUU Persaingan Usaha dan Monopoli.
Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, dari empat RUU yang ditargetkan, setidaknya dua RUU dapat diselesaikan di akhir masa sidang ini, yaitu RUU Perkoperasian dan RUU Persaingan Usaha dan Monopoli.
"Kebetulan dua RUU itu dibahas di Komisi VI dan saya masuk sebagai anggota tim panja (panitia kerja), prosesnya memang sudah mau selesai, tinggal finalisasi," ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin, dibanding mengejar kuantitas, DPR dan Pemerintah seharusnya juga memerhatikan kualitas RUU yang dibahas. Produk undang-undang yang banyak tidak ada nilainya bagi masyarakat jika pada akhirnya tidak bisa diterapkan atau justru merugikan publik.