Kerusakan ekosistem hingga pendangkalan di Danau Rawapening tidak lepas dari kearifan lokal yang kian luntur dan mulai ditinggalkan.
UNGARAN, KOMPAS —Petani dan nelayan di 13 desa di sekitar Danau Rawapening, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, pernah mempraktikkan budidaya terkendali untuk pelestarian lingkungan pada 1990-2000.
Mereka sepakat menerapkan tradisi menjaga lingkungan, di antaranya menaati secara periodik tidak menangkap ikan setiap pasaran (siklus) Jawa. Tradisi itu perlahan lenyap ketika terjadi eksploitasi atas budidaya dan penangkapan ikan hingga jumlah nelayan melonjak sekitar 6.000 orang.
Beberapa tokoh masyarakat di Desa Bejalen dan Desa Kesongo, Selasa (5/3/2019), mengatakan, tradisi tidak mengambil ikan sebulan sekali itu sudah berlangsung turun-temurun. Tribowo (70), tokoh masyarakat di Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, menuturkan, hanya para orangtua dan generasi tua sebelum 1960-an yang sangat memegang erat tradisi itu.
Tidak mengambil ikan artinya memberi kesempatan danau untuk mengatur dirinya sendiri. ”Tradisi itu masih dipegang teguh oleh para nelayan dan warga di sini hingga 1995. Sejalan dengan waktu, anak-anak muda saat ini tidak lagi ngugemi (memegang teguh) tradisi itu.
Pernah ada upaya menghidupkan tradisi itu, tetapi kalah dengan tuntutan ekonomi saat ini,” kata Rina Fatkhiyati, Sekretaris Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa.
Kepala Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan Rawa Pening (PSPKRP) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Naniek Sulistya Wardani membenarkan, kuatnya tradisi masyarakat di sekitar Rawapening pada masa lalu mampu menekan kerusakan ekosistem lingkungan.
Pada periode 1990-2000, ada pula Forum Rembug Rawapening yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, instansi pemerintah, dan pemangku kepentingan dalam upaya pelestarian danau itu.
”UKSW turut mendampingi program budidaya, pengembangan usaha, pemberdayaan masyarakat, kegiatan eksploitasi, dan perubahan tata lahan agar bisa lebih terarah. Semua itu tujuannya agar danau tetap bersih dan bening,” katanya.
Kala itu, kedalaman danau Rawapening masih di atas 10 meter. Bahkan, dengan pendampingan, masyarakat nelayan pun mau diajak mengatur daerah tangkapan ikan.
Pengaturan itu sejalan dengan tradisi ”puasa” menangkap ikan, kearifan lokal yang sangat berperan penting untuk pelestarian. Dengan pengaturan daerah tangkapan, gulma eceng gondok juga dibatasi, tidak tak terkendali hanya untuk kepentingan pasokan bahan baku kerajinan eceng semata.
Namun, tatanan itu mengalami perubahan ketika pada 2005 terjadi privatisasi air baku oleh perusahaan swasta untuk industri air minum dan pembukaan tambang liar di kawasan lereng perbukitan di Rowosari, Tuntang. Eksploitasi itu ditambah jumlah pembudidaya di danau melonjak sehingga terjadi pendangkalan danau.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengemukakan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memulai pembabatan gulma eceng gondok dan pengerukan sedimentasi sejak pertengahan 2017. Namun, upaya itu belum optimal, terlebih masalah Rawapening kronis. (WHO)