Komputer, Internet, dan Gawai Belum Cukup
Berawal dari mulai digunakannya tahun 1980-an, lalu internet di akhir dekade 1990, diikuti gawai pada abad ke-21. Bisa jadi, inilah resep bagi meledaknya bisnis digital yang tak henti-hentinya muncul dan bertumbuh, termasuk di Asia Tenggara.
Kendati begitu, tak berarti usaha rintisan digital tumbuh sekonyong-konyong begitu saja. Alibaba, perusahaan e-dagang asal China yang mahsyur di segala penjuru dunia pun butuh resep yang terakhir: manusia dengan mimpi-mimpi besarnya.
Ini telah disaksikan sendiri oleh Porter Erisman, orang Amerika Serikat pertama di Alibaba. Pria, yang sempat menjabat Wakil Presiden Alibaba, ini, merangkum dalam buku Alibaba’s World (2015, Noura Books) semua yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dilaluinya bersama Jack Ma, sang pendiri situs e-dagang raksasa global.
“Sejak hari pertama Alibaba dibentuk pada 1999, Jack Ma sudah menentukan bahwa perusahaan ini akan menjadi perusahaan berskala internasional. Di apartemennya di Hangzhou, ia mengumpulkan orang-orang yang dipercayanya, lalu meyakinkan mereka bahwa Alibaba akan mendunia dengan kerja keras,” kata Erisman dalam peluncuran Alibaba’s World versi Bahasa Indonesia di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Kini, Alibaba telah menjadi salah satu situs e-dagang terbesar di China dan dunia dengan valuasi hampir 1 triliun dollar AS. Angka berbicara bagi kesuksesannya, misalnya pada Hari Lajang 2018 yang jatuh pada 11 November di China. Dalam kurun waktu 24 jam, omzet penjualan menyentuh nilai fantastis, 30 miliar dollar AS.
“Ini melampaui jumlah total penjualan saat Jumat Hitam (Black Friday) dan Senin Siber (Cyber Monday) di AS. Kami memproses 1 miliar pesanan ke 230 negara,” kata Erisman.
Jack Ma telah membuktikan, asumsi pesimistis orang bahwa bisnis digital tak akan pernah berkembang di China adalah kesalahan besar. Saat itu, e-Bay dan Amazon adalah situs e-dagang terbesar di Amerika Serikat dan dunia.
“Hanya satu persen orang di China yang menggunakan internet pada 1999. Kontrol pemerintah terlalu kuat, tidak ada kartu kredit, penyaluran logistik buruk, dan sangat sedikit ahli digital,” kata Erisman.
Dalam keadaan ini, Jack Ma cukup sabar dalam membangun Alibaba. Ia memulai dengan membuat situs Taobao dan mengajak para pemilik toko kecil untuk berjualan daring, setidaknya di China saja.
Kemudian, dibuat berbagai fitur yang khas budaya Asia, seperti chatting. Lambat laun, tumbuh kepercayaan antara konsumen dan penjual meskipun mereka tak pernah saling bertemu. Dari merangkul usaha kecil, Alibaba berkembang dengan situs Tmall.com sebagai toko daring bagi peritel besar.
Perkembangan ini terus berlanjut hingga Alibaba menjadi sebesar sekarang. Muncul pula fitur-fitur baru seperti uang elektronik Alipay.
40 pelajaran berharga
Alih-alih berisi kiat-kiat digital di Alibaba, kata Erisman, buku yang ditulisnya lebih tepat disebut sebagai cerita tentang menggapai mimpi. Bisnis raksasa digital pun perlu prinsip dan idealisme dalam mencapai kesuksesan, dan itu ada pada diri Jack Ma.
“Jack Ma lebih suka menyebut dirinya sebagai artis daripada pebisnis. Dia ingin membuat inovasi yang kemudian bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Saya mempelajari banyak hal dari Jack. Semuanya saya rangkum di salah satu bab buku saya, yaitu Alibaba dan 40 Pelajaran Berharga,” kata Erisman.
Dan benar, pelajaran berharga itu seperti klise-klise yang sering didengungkan orang tentang menggapai mimpi. Namun, Erisman telah membuktikan bahwa semua klise itu bisa diwujudkan menjadi kenyataan.
Tentang mengejar mimpi, misalnya, Jack Ma berpesan agar kita berani bermimpi setinggi langit dan tidak meremehkan diri sendiri. Semakin besar masalah, peluang yang terbuka pun semakin besar. Ini sudah dibuktikan dengan berdirinya Alibaba meskipun infrastruktur internet di China saat itu sangat buruk.
Mengenai strategi berbisnis, Jack Ma mengajak rekan-rekannya untuk bergerak secepat kelinci, tetapi sabar seperti kura-kura. Artinya, para pengusaha perlu mengambil keputusan-keputusan jangka pendek sembari menyusun rencana jangka panjang.
Di samping itu, pengusaha harus bisa melompat jauh (leapfrog). Di Amerika, evolusi ritel berawal dari toko-toko kecil, waralaba besar, kemudian menuju eBay dan Amazon. Sebaliknya, China saat itu langsung memiliki laman e-dagang tanpa melewati fase waralaba. “Pengusaha memang harus mencari penyelesaian masalah, bukan menggerutu,” ujar Erisman.
Ekspansi
Alibaba saat ini juga hadir di Indonesia melalui dua situs e-dagang terbesar di Asia Tenggara, yaitu Tokopedia dan Lazada. Tokopedia dan Lazada termasuk dua dari tiga laman e-dagang terbesar.
Menurut Erisman, lebih baik menjaga kehadiran dengan wajah lokal sehingga bisnis mudah diterima oleh masyarakat di negara tersebut. Ia percaya, bisnis digital akan terus berkembang di Asia Tenggara.
Wahyu Dhyatmika, pemimpin redaksi Tempo.co, sepakat dengan Erisman. Dahulu, eBay dan Yahoo masuk ke China untuk bersaing dengan Alibaba, namun tidak sukses. “Kolaborasi dengan unicorn lokal bisa menjadi kunci kesuksesan untuk Alibaba di Asia Tenggara,” katanya.
Wahyu yakin, bisnis digital seperti e-dagang di Asia Tenggara akan terus berkembang, terutama di Indonesia. Mengutip studi e-Conomy 2018 SEA oleh Google dan Temasek, ekonomi digital di Asia Tenggara bernilai 72 miliar dollar AS pada 2018 dan diproyeksikan tumbuh berlipat ganda menjadi 240 miliar dollar AS pada 2025.
E-dagang memiliki bagian terbesar, senilai 23 miliar dollar AS pada 2018. Dengan jumlah pengguna gawai yang telah mencapai 350 juta di 6 negara saja di Asia Tenggara, transaksi e-dagang bisa mencapai 102 miliar dollar AS pada 2025, tumbuh 34 persen.
Ekonomi digital memang akan terus tumbuh dan tidak akan bisa dihambat. Berbagai usaha rintisan terus menggalang dana dan memberikan kemudahan bagi kehidupan masyarakat. Namun, di balik kedahsyatan gawai-gawai yang membawakan layanan bagi khalayak, ada orang-orang bermimpi besar yang berani merealisasikannya. (KRISITIAN OKA PRASETYADI)