Majelis Hakim Tolak Pengalihan Status Tahanan Ratna Sarumpaet
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim menolak permohonan alih status tahanan yang diajukan kuasa hukum Ratna Sarumpaet dalam sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (6/3/2019). Majelis hakim menilai belum ada alasan yang tepat untuk pengalihan status tahanan.
”Majelis hakim sampai saat ini belum dapat mengabulkan permohonan pengalihan status tahanan Ratna Sarumpaet. Belum ada alasan khusus yang dapat jadi pertimbangan. Selain itu, di persidangan terdakwa (Ratna Sarumpaet) menjawab bahwa kondisinya sehat,” kata Ketua Majelis Hakim Joni.
Sebelumnya, pada sidang pembacaan dakwaan, Rabu (28/2/2019), kuasa hukum Ratna mengajukan pengalihan status tahanan dari Rutan Polda Metro Jaya menjadi tahanan kota atau tahanan rumah dengan anak-anak Ratna sebagai penjamin.
Joni dalam sidang tersebut selalu menanyakan kondisi kesehatan Ratna. Jawaban yang diberikan Ratna pun sama, yakni sehat dan siap mengikuti jalannya persidangan.
Tolak dakwaan
Dalam sidang lanjutan pembacaan eksepsi, kuasa hukum Ratna Sarumpaet menganggap surat dakwaan jaksa penuntut umum keliru dan merugikan hak-hak Ratna. Dua pasal yang didakwakan kepada Ratna tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kuasa hukum Ratna, Desmihardi, membacakan eksepsi tersebut atas nama Ratna. Wakil Ketua PN Jakarta Selatan Joni menjadi Ketua Majelis Hakim didampingi dua hakim anggota, yakni Krisnugroho dan Mery Taat Anggarasih. Adapun jaksa penuntut umum adalah Arya Wicaksana, Sarwoto, Donny M Sany, dan Las Maria Siregar.
Ratna didakwa melanggar Pasal 14 Ayat 1 Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 juncto Pasal 45 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
”Jaksa penuntut umum telah keliru dalam membuat surat dakwaan karena tidak cermat, jelas, dan lengkap sehingga tidak memenuhi ketentuan pasal dalam dakwaan,” ucap Desmihardi.
Desmihardi menyebutkan, UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku sebagai ketentuan hukum pidana materiil dan tidak pernah digunakan untuk pelaku tindak pidana.
Sebagai delik materiil, terdakwa baru dapat dihukum/dipidana jika akibat dari perbuatan telah terjadi.
Pasal 14 Ayat 1 UU No 1/2014 menyebutkan, barangsiapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
”Sebagai delik materiil, terdakwa baru dapat dihukum/dipidana jika akibat dari perbuatan telah terjadi. Ratna tidak membuat keonaran di tengah masyarakat. Dalam KBBI, keonaran berarti kegemparan, keributan, kerusuhan. Seolah-olah ada keonaran dari cuitan-cuitan dan unjuk rasa agar terdakwa ditindak akibat rangkaian cerita bohong,” katanya.
Rangkaian cerita bohong dalam cuitan Twitter Rizal Ramli dan Rocky Gerung, Facebook Nanik Sudaryanti, konferensi pers Prabowo Subianto, orasi beberapa orang di Dunkin Donuts Menteng, dan unjuk rasa Lentera Muda Nusantara, katanya, tidak dapat disebut sebagai keonaran.
Selain itu, kata Desmihardi, keonaran atau kegaduhan atas rangkaian cerita bohong Ratna tidak terkait dengan Pasal 28 juncto Pasal 45 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
”Sama sekali tidak ada hubungan dengan suku, agama, dan ras, terlebih lagi dalam cuitan Twitter orasi dan demo,” ujarnya.
Sementara itu, jaksa akan mempelajari terlebih dulu eksepsi sebelum menyampaikan tanggapannya dalam sidang selanjutnya. ”Tanggapan akan kami (JPU) sampaikan pada sidang berikutnya,” ucap Arya.
Sidang akan dilanjutkan dengan agenda tanggapan jaksa pada Selasa (12/3/2019). (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)