Malaysia Bergabung dengan Mahkamah Kriminal Internasional
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·2 menit baca
KUALA LUMPUR, RABU — Malaysia menjadi anggota yang ke-124 di Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC). Bergabungnya Malaysia di ICC memperkuat lembaga peradilan internasional yang didirikan pada 2002 itu, yang belakangan diterpa kritik serta ditinggalkan oleh beberapa negara anggotanya.
Pemerintah baru di Malaysia, yang berhaluan reformis, telah bersumpah untuk bergabung dengan ICC. Menteri Sumber Daya Manusia M Kula Segaran, pada Selasa (5/3/2019), mengonfirmasi bahwa negeri jiran itu telah menandatangani perjanjian berdirinya mahkamah internasional tersebut.
”Dengan bergabung bersama ICC, Kuala Lumpur sekarang dapat memainkan peran penting dalam masalah terkait kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Segaran.
Menteri Luar Negeri Saifuddin Abdullah menandatangani perjanjian berdirinya ICC setelah kabinet Malaysia menyetujui langkah tersebut.
ICC adalah satu-satunya pengadilan kejahatan perang permanen di dunia yang dibentuk untuk mengadili kejahatan terburuk ketika pengadilan di tingkat nasional tidak mampu atau tidak mau melakukannya.
Dengan bergabung di ICC, Kuala Lumpur kini dapat memainkan peran penting dalam masalah terkait kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, pengadilan yang bermarkas di Den Haag, Belanda, itu mendapat kecaman atas keputusannya yang membebaskan terdakwa dari kalangan atas. Beberapa negara telah memilih keluar dari keanggotaan di lembaga itu. Burundi menjadi negara pertama yang keluar dari ICC pada 2017 dan Filipina mengumumkan niatnya untuk mundur juga.
ICC mengalami kemunduran besar pada Januari ketika para hakim membebaskan mantan presiden Pantai Gading Laurent Gbagbo karena gelombang kekerasan pascapemilihan. Peristiwa itu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang, misalnya, apakah pengadilan pada ICC tersebut cocok untuk tujuan tertentu.
Keputusan Burundi untuk menarik diri terjadi setelah kepala jaksa penuntut di ICC mengadakan penyelidikan awal terhadap kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan di negara Afrika tengah selama krisis politik pada 2016.
Sementara Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan pada Maret tahun lalu bahwa ia menarik diri dari ICC setelah pengadilan ICC melancarkan penyelidikan terhadap langkah Pemerintah Filipina yang menyatakan perang terhadap narkoba. (AFP)