Pembenahan Jeneberang Bisa Tiru Citarum
MAKASSAR, KOMPAS -Dibutuhkan Peraturan Presiden agar penataan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang, Sulawesi Selatan, dapat berjalan efektif dan efisien seperti yang dilaksanakan pada penataan DAS Citarum. Selama ini kerusakan alam di sepanjang kawasan DAS Jeneberang itu masih ditangani secara sektoral, sehingga tak pernah dapat diatasi dengan tuntas.
Hingga kini, kerusakan ditemukan di sepanjang DAS Jeneberang yang melintasi 3 wilayah di Sulsel, mulai dari hulu hingga muaranya di Selat Makassar. Di kawasan hulu, seperti di Malino, terjadi perubahan alih fungsi lahan yang masif dan longsoran kaldera dari Gunung Bawakaraeng yang membuat pendangkalan sungai.
Pada bagian tengah DAS Jeneberang, banyak penambangan pasir yang tidak mengikuti kaidah lingkungan yang mengubah morfologi sungai dan merusak bangunan penahan sedimentasi. Sedangkan di bagian muaranya, bantaran sungai yang terbentuk dari delta atau sedimentasi, menjadi tempat tinggal warga. Padahal bantaran sungai termasuk jalur banjir sehingga warga dibayang-bayangi bencana.
Penerbitan perpres dapat menjadi cara untuk mengatasi kompleksitas permasalahan lingkungan DAS Jeneberang itu. Hal itu pun didukung kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan juga pemerintah daerah. Perpres dinilai dapat membangun sinergi 6 instansi pemangku kawasan itu yang selama ini masih bergerak sendiri, tanpa ada kepaduan, dalam mengatasi kerusakan di DAS itu.
Keenam instansi itu adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang yang berada dibawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Selatan yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Gowa, Pemkab Takalar, dan Pemerintah Kota Makassar.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin Adi Maulana menilai, pembenahan DAS Jeneberang harus sinergis oleh seluruh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan. Untuk mewujudkan sinergi itu, pemerintah pusat menerbitkan Perpres sebagai payung hukum yang tinggi untuk mengatur pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga setingkat kementerian.
“Dengan adanya Perpres, bisa mengatur kementerian-kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga terkait untuk pembenahan DAS Jeneberang. Agar semuanya bisa sinergis satu langkah dan tujuan bersama,” ujar Adi Maulana ditemui di Kampus Universitas Hasanuddin, Kota Makassar, awal Februari.
Dengan adanya perpres bisa mengatur kementerian-kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga terkait untuk pembenahan DAS Jeneberang.
Menurut Adi, selama ini pengelolaan DAS Jeneberang masih sektoral sebatas kepentingan instansi terkait. “Pendekatannya pun sebatas proyek sesuai tugas pokok dan fungsi instansi terkait. Masih sektoral dan belum holistik. Inilah yang membuat kondisi DAS terus memburuk sehingga perlu pengelolaan dan pembenahan secara sinergis,” ucap Adi.
Dengan diterbitkannya Perpres, penataan kawasan DAS Jeneberang dapat langsung dipimpin oleh Gubernur. Dalam pelaksanaannya, Gubernur menjadi koordinator antarinstasi, meliputi BBWS, BKSDA, pemkab, bahkan TNI dan Polri.
Mencontoh Citarum
Adi menilai, pembenahan DAS Jeneberang bisa meniru pembenahan Sungai Citarum yang juga menggunakan Perpres sebagai payung hukum. Ia menilai langkah itu cukup berhasil membenahi sungai terbesar di Jawa Barat itu.
“Saya melihat pembenahan Sungai Citarum itu best practice kita sejauh ini dalam pembenahan sungai. Saya kira, konsep pembenahan serupa bisa dilakukan juga di DAS Jeneberang,” tutur Adi.
Dorongan diterbitkannya Perpres juga datang dari Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan Muhammad Al Amien. Penerbitan perpres itu dinilai penting karena selama ini pemerintah daerah dinilai gagal menjaga DAS Jeneberang.
Lebih lanjut Al Amien mengatakan, sebetulnya Indonesia sudah memiliki perangkat hukum yang mengatur soal pengelolaan DAS yakni di Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Dalam PP tersebut, gubernur dan bupati bertugas merencanakan pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi terhadap pengelolaan DAS Jeneberang. Namun pada tataran pelaksanaan, peraturan itu tidak diimplementasikan secara nyata di lapangan.
“Kalau ada Perpres berarti ada perintah langsung dari presiden. Maka gubernur, bupati, dan kementerian terkait tidak bisa lagi mengelak, sehingga DAS ini bisa dikelola dengan lebih baik,” kata Al Amien.
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdulah mengungkapkan, kini Pemprov Sulsel tengah mencoba membangun sinergi antarinstansi untuk memperbaiki lingkungan DAS Jeneberang dengan dengan menerbitkan peraturan daerah. Melalui perda itu, Nurdin telah membentuk tim yang berisi berbagai pemangku kepentingan seperti kementerian, pemprov, pemerintah kabupaten/kota, polri, TNI, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk terlibat bersama melaksanakan penghijauan di kawasan DAS itu.
Nurdin pun merespons positif jika Perpres juga dapat diterbitkan sehingga penanganan DAS Jeneberang dapat berjalan lebih sinergis. Dengan demikian penataan kawasan itu juga dapat langsung dikendalikan gubernur.
“Rehabilitasi DAS ini tugas semua elemen masyarakat. Jadi saya ingin semua orang terlibat untuk bersama-sama merehabilitasi dan menjaga hutan,” ujar Nurdin.
Nurdin pun mengungkapkan sudah berbicara dengan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo untuk membahas lebih lanjut terkait kemungkinan dilaksanakannya program pembenahan DAS Jeneberang seperti yang pernah dilaksanakan di Sungai Citarum. “Model itu kita coba. Kami mau kesana untuk melihat, apakah cocok untuk dikembangkan di sini,” kata Nurdin.
Secara terpisah, Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan menyambut baik jika penanganan DAS Jeneberang dilandasi Perpres, seperti yang sudah dilakukan pada DAS Citarum. Dengan demikian, seluruh pemangku kepentingan dapat bertindak lebih cepat dan lugas. Penindakan hukum juga dapat berjalan lebih efektif.
“Kalau ada Peraturan Presiden semua pemangku kepentingan bisa bergerak cepat,” kata Adnan.
Adnan pun mengusulkan agar dibentuk pula satuan tugas (satgas) yang terdiri dari penegak hukum dan instansi terkait, untuk menindak setiap pelanggaran yang terjadi di DAS tersebut, terutama yang merusak lingkungan. Satgas itu dapat diisi oleh pihak kepolisian, kejaksaan tinggi, serta BBSW Pompengan-Jeneberang dan Balai KSDA sebagai kepanjangan tangan kementerian.
Dengan adanya satgas itu, Adnan meyakini dapat membuat upaya penegakkan hukum di sepanjang DAS Jeneberang lebih efektif.
Selama ini, diakui Adnan, pihaknya cukup kewalahan untuk menindak pelanggaran hukum yang terjadi di area DAS Jeneberang. Salah satu bentuk pelanggaran itu adalah maraknya penambangan pasir dan batu ilegal.
Koordinasi
Ketua Harian Forum DAS Sulsel, Usman Arsyad, pun menilai penanganan DAS Jeneberang yang dilakukan secara lintas sektor selama ini belum berjalan efektif. Di samping itu, aspek penegakkan hukum atas pelanggaran yang dilakukan di sepanjang aliran DAS juga masih lemah.
Secara hukum, pengelolaan Sungai Jeneberang telah dipayungi Peraturan Daerah Sulsel Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Namun untuk mewujudkan pengelolaan itu, lanjut Usman, dibutuhkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antarinstansi. Kerja yang sinergis antarinstansi itu yang masih bak panggang jauh dari api.
Usman menuturkan, permasalahan utama dari DAS Jeneberang adalah degradasi lahan, penurunan kualitas air sungai, serta pendangkalan sungai dan bendungan akibat sedimentasi. Untuk itu, dibutuhkan sebuah payung hukum yang lebih tinggi lagi, berupa Peraturan Presiden untuk menyatukan visi dari para pemangku kepentingan di DAS Jeneberang.
Baca juga Rehabilitasi DAS Jadi Prioritas
Selain peraturan daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang pengelolaan DAS menurut Usman belum terealisasi dengan baik. Pasalnya, pemahaman sejumlah kepala instansi yang berwenang mengelola DAS terhadap peraturan pemerintah tersebut masih minim. “Payung hukum sebenarnya sudah jelas, tetapi aspek penegakan hukum masih kurang karena pemahaman stakeholder (pemangku kepentingan) tentang DAS belum merata,” kata Usman.
Perhutanan sosial
Terkait persoalan alih fungsi lahan di hulu Jeneberang, Kepala Dinas Kehutanan Sulsel Muhammad Tamzil mengatakan, skema perhutanan sosial yang digaungkan pemerintah pusat dapat dipakai oleh masyarakat setempat di kawasan hutan lindung. Dengan demikian, masyarakat tetap dapat mendulang manfaat ekonomi namun tidak menghilangkan fungsi ekologis.
Dalam skema ini, masyarakat diberikan hak dan wewenang izin selama 35 tahun untuk mendapatkan manfaat dari hutan, tanpa memiliki hak kepemilikan lahan. Jika pihaknya menemukan tindakan penebangan pohon dan pembukaan lahan, maka pelaku akan ditindak.
“Seperti di Gowa sudah banyak kelompok petani hutan yang menyadap gula aren dan memanen madu dengan memanfaatkan pohon-pohon yang ada. Mereka mendapat manfaat ekonomis tanpa harus merusak hutan,” ujar Tamzil.