JAKARTA, KOMPAS — Netralitas aparatur sipil negara masih menjadi masalah serius menjelang Pemilu 2019. Kepentingan politik terus mencemari birokrasi sehingga menghambat proses reformasi birokrasi. Oleh karena itu, pengawasan bakal diperketat untuk menjaga netralitas aparatur.
”Mendekati pemilu, pelanggaran netralitas ini akan semakin banyak dan mengkhawatirkan. Karena itu, kami akan memperketat pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran itu agar jangan sampai birokrasi kita dicemari oleh ketidaknetralan ASN (aparatur sipil negara),” ujar Ketua Komisi ASN (KASN) Sofian Effendi seusai diskusi bertajuk ”Menjaga Netralitas ASN dan Penerapan Sistem Merit dalam Peningkatan Kinerja Birokrasi”, Rabu (6/3/2019), di Jakarta.
Hadir pula dalam diskusi itu Komisioner KASN Prijono Tjiptoherijanto, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng.
Sofian menyampaikan, setidaknya ada dua kasus pelanggaran netralitas ASN yang mencuat baru-baru ini, yaitu ASN terang-terangan memberikan dukungan kepada salah satu calon presiden-wakil presiden.
Kasus dimaksud adalah kasus 15 camat di Makassar, Sulawesi Selatan, serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama 35 kepala daerah di Jawa Tengah.
Terhadap seluruh ASN yang terlibat kasus itu, Sofian menegaskan, pihaknya telah memberikan peringatan keras, termasuk kepada Ganjar.
Sekalipun dia bukan ASN, Ganjar sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) di Jawa Tengah harusnya tunduk pada aturan-aturan yang mengikat ASN.
”Semua sudah kami peringatkan. Gubernur pun meski kedudukannya bukan ASN, dia PPK. Sebagai PPK, kan, harus tunduk pada aturan-aturan ASN,” katanya.
Sofian meminta ASN lain tidak mengulangi pelanggaran terhadap prinsip dan aturan netralitas ASN. Hal ini penting karena pelanggaran itu menghambat pencapaian target, menjadikan ASN berkelas dunia.
Selain itu, pelanggaran akan mereduksi indeks efektivitas pemerintah. Pasalnya, salah satu indikator untuk menilai indeks itu, pemerintah harus memiliki model kelembagaan ASN yang mampu melawan intervensi politik.
”Itu mengapa kami sangat serius menjaga supaya netralitas tidak tercemar karena ingin mewujudkan ASN berkelas dunia. ASN tidak boleh dipengaruhi oleh pemerintah,” kata Sofian.
Namun, menurut Robert Endi Jaweng, menegakkan netralitas ASN tidak seperti membalikkan telapak tangan. Salah satunya karena PPK ada di tangan kepala daerah yang notabene merupakan jabatan politik. Jadi, masalah yang kerap terjadi akan selalu berputar di urusan relasi politik.
Oleh karena itu, Robert mengusulkan agar PPK tidak dijabat oleh kepala daerah, tetapi oleh sekretaris daerah (sekda) di setiap pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah pusat atau KASN memiliki otoritas yang kuat untuk memperingatkan sekda yang enggan menjalankan rekomendasi KASN.
Sementara Mahfud MD mengusulkan agar KASN diperkuat. Jika selama ini KASN hanya bisa memberikan rekomendasi kepada PPK atas pelanggaran yang dilakukan ASN, ke depan KASN harusnya bisa langsung menjatuhkan sanksi.
”Itu diharapkan tingkat ketaatannya lebih tinggi. Rekomendasi, kan, selama ini hanya dilihat seperti imbauan. Sementara kalau KASN ada otoritas itu betul-betul secara tegas menjaga kualitas birokrasi dan netralitas ASN,” kata Mahfud.