Penurunan Status Cagar Alam di Jawa Barat Ditentang
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Massa yang menamakan diri Aliansi Cagar Alam Jawa Barat mendesak pemerintah membatalkan kebijakan yang menurunkan status dua cagar alam di Jawa Barat menjadi taman wisata alam. Kebijakan itu dinilai akan semakin memperparah kondisi hutan. Tak hanya itu, kebijakan tersebut disebut telah melanggar aturan perundang-undangan.
Desakan itu disampaikan dalam unjuk rasa di depan gerbang kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di Jakarta, Rabu (6/3/2019). Massa datang dari berbagai daerah di Jawa Barat. Sekitar 25 di antaranya, berjalan kaki dari Bandung sejak Minggu (3/3/2019) siang.
Koordinator Aksi Opick Nurdin mengatakan, cagar alam yang diturunkan statusnya menjadi taman wisata alam (TWA), yaitu Cagar Alam Kamojang seluas 2.391 hektar dan Cagar Alam Gunung Papandayan seluas 1.991 hektar di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kebijakan itu diatur melalui Surat Keputusan (SK) Menteri LHK Nomor SK.25/MENLHK/SETJEN/PLA.2/1/2018 tertanggal 10 Januari 2018.
“Penurunan status kedua cagar alam akan memperparah kondisi hutan. Sebelum kebijakan ini keluar, hutan sudah rusak, hampir tiap tahun terjadi bencana ekologis. Bagaimana jadinya kalau diturunkan jadi taman wisata alam?” kata Opick.
Opick melanjutkan, penerbitan SK itu juga terkesan sembunyi-sembunyi. Meski ditandatangani awal 2018, masyarakat sipil baru mengetahuinya awal tahun 2019. Itu pun mereka peroleh dari jejaring masyarakat sipil karena tidak ada di situs resmi pemerintah. Padahal semestinya informasi itu terbuka untuk publik.
Dia juga mempertanyakan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang tercantum di SK itu. Jika itu menjadi dasar, semestinya tidak mesti memakan tempat lebih dari 4.000 hektar atau seluas Kota Cimahi. Opick mengkhawatirkan perubahan status hutan yang luas itu ditunggangi oleh ‘penumpang gelap’.
“Idealnya, untuk mengubah status cagar alam menjadi TWA hanya 100 hektar. Nah, sisanya buat siapa?” ujarnya.
Wahyudin, staff Advokasi WALHI Jawa Barat, yang juga terlibat dalam aksi itu, mengatakan, SK yang dikeluarkan KLHK melanggar hukum.
Pertama, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan cagar alam bertentangan dengan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan melanggar rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Nasional, Jawa Barat, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut. Pasalnya untuk bisa mengubah status hutan, RTRW harus diubah.
Selanjutnya, proses dan subtansi SK juga melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Antara lain karena informasi rencana perubahan fungsi hutan tidak disebarluaskan ke publik. Proses penyusunan SK dan kajian perubahan fungsi tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan saran. Proses dan subtansi keluarnya SK tidak melalui proses konsultasi publik yang melibatkan pihak yang berkepentingan.
Wahyudin pun menuntut pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan ini. Selain berbenturan dengan sejumlah aturan, penurunan status cagar alam akan mendegradasi ekosistem dan keanekaragaman hayati cagar alam di wilayah hulu utama Daerah Aliran Sungai Cimanuk dan Citarum. Hal itu juga akan menimbulkan bencana banjir yang semakin meluas.
Kompas berupaya mengonfirmasi Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi terkait unjuk rasa ini. Namun, hingga berita ini diturunkan Djati belum dapat dihubungi. (YOLA SASTRA)