JAKARTA, KOMPAS — Petani tebu berharap ada kepastian, baik harga jual di tingkat petani maupun pembeliannya. Demi menjaga penyerapan gula rakyat, pemerintah juga diminta mengendalikan impor gula rafinasi.
Kondisi industri gula berbasis tebu produksi petani yang lesu disampaikan para pengurus Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Selasa (5/3/2019) sore. Pertanian tebu dinilai hampir tak memiliki nilai ekonomi akibat harga jual gula petani umumnya di bawah biaya produksi.
”Agar semangat menanam tebu dan industri gula di dalam negeri bisa tumbuh dan berkembang, (gula petani) harus memiliki nilai ekonomi. Untuk itu, kami usulkan agar pemerintah segera menetapkan kebijakan pembelian gula petani, tata niaga gula ini seperti apa, H-3 bulan sebelum petani panen atau pabrik gula giling, harus sudah ditetapkan,” kata Ketua APTRI Muhammad Arum Sabil.
Adanya penetapan harga ini akan memberi kepastian perencanaan bagi petani. Selain itu, diharapkan ada jaminan pembelian gula petani. Bulog bisa diberi tugas untuk menyerap gula petani. Namun, supaya Bulog tidak rugi, perlu ada kebijakan impor gula rafinasi yang terkendali dari negara.
Presiden, menurut Arum, menanggapi secara positif dan bulan ini akan mengumumkan harga pembelian gula petani setelah mendapatkan besaran harga pokok produksi yang dihitung tim independen bentukan pemerintah. Sebelum ini, tambahnya, harga pokok produksi yang ditemukan Rp 10.500.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang mendampingi Presiden menerima para pengurus APTRI ini mengatakan, pemerintah akan mencari langkah supaya petani untung dan konsumen tetap tersenyum. Untuk itu, tim independen segera menghitung harga pokok produksi dan harga pokok pembelian gula petani.
Mengenai siapa saja yang mengisi tim independen ini, Amran menyebut akademisi pertanian dan peneliti tanpa merinci nama. Dia juga hanya mengatakan, mudah-mudahan penghitungan dan kajian untuk menentukan langkah perbaikan tata niaga gula bisa dilakukan lebih cepat. ”Tunggu tanggal mainnya. Kita akan sampaikan pada waktu yang tepat,” ujarnya.
Pemerintah akan mencari langkah supaya petani untung dan konsumen tetap tersenyum.
APTRI berharap penentuan harga gula segera rampung bulan ini sebab musim panen dan giling akan berawal pada Mei 2019 ini. Selain itu, panen raya akan terjadi pada Agustus 2019 serta akhir masa panen dan giling umumnya Desember.
Mafia gula
Arum Sabil menambahkan, selama ini jumlah kebutuhan gula nasional dimanipulasi untuk kepentingan impor gula. Dengan demikian, kuota impor selalu berlebih dan mendesak gula petani.
Dalam hitungan kasarnya, apabila setiap manusia di Indonesia mengonsumsi 9 kilogram gula per tahun, dengan penduduk 260 juta jiwa, diperlukan tak lebih dari 2,5 juta ton. Jika kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman sama dengan kebutuhan gula konsumsi, Arum menyebut kebutuhan gula di Indonesia sekitar 5 juta ton.
Namun, kenyataannya pabrik gula rafinasi yang berbahan impor memiliki kapasitas terpasang di atas 5 juta ton. Selain itu, ada pula pabrik gula baru yang mendapat izin mengolah gula rafinasi 1 juta ton. Keberadaan gula rafinasi yang mencapai 6 juta ton belum termasuk gula produksi petani yang berkisar 2 juta ton jelas berlebih. ”Jadi, bisa dihitung berapa juta ton gula rafinasi yang merembes ke pasar,” ujar Arum.
Tahun ini, Arum Sabil meyakini petani bisa memproduksi 2,3 juta-2,4 juta ton gula sebab luas areal tanam tebu di Indonesia sekitar 450.000 hektar. Adapun pabrik gula yang ada di Indonesia sebanyak 62 dengan kapasitas terpasang 235.000 ton per hari.
”Kalau mau memenuhi konsumsi nasional, baik industri maupun konsumsi rumah tangga, mau tak mau revitalisasi pabrik gula harus dilakukan, di samping terintegrasi (sistem tata niaganya),” ujar Arum.