Presiden diminta membatalkan proyek pembangkit listrik tenaga air yang bakal berdampak pada punahnya spesies orangutan tapanuli.
JAKARTA, KOMPAS—Masyarakat internasional, terdiri dari lembaga masyarakat dan sejumlah anggota kongres Amerika Serikat, melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru, Sumatera Utara. Pembangunan pembangkit listrik itu dinilai akan menghancurkan habitat orangutan tapanuli dan menghancurkan kehidupan sosial ekonomi warga.
”Surat kami kirimkan hari ini. Selain ke Presiden, juga pada pihak terkait lain, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Koordinator Kemaritiman, Kantor Staf Presiden, dan Sekretariat Negara,” kata Direktur Eksekutif Mighty Earth Glenn Hurowitz, pada temu media di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Surat itu ditandatangani, antara lain, dua mantan Duta Besar AS untuk Indonesia Robert Blake dan Cameron Hume, anggota parlemen Inggris, aktivis lingkungan dari Rainforest Foundation Norway (RFN), beberapa orang dari Organisasi Internasional Konservasi Alam (IUCN), dan beberapa anggota Kongres AS. Sikap itu didukung sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia, seperti Madani, Sawit Watch, Center for Orangutan Protection, dan Pusat Informasi Orangutan.
Melindungi spesies
”Kami mendesak Anda mengambil tindakan heroik untuk melindungi spesies orangutan tapanuli yang baru ditemukan dengan membatalkan usulan proyek bendungan Batang Toru. Pembangunan bendungan disetujui sebelum spesies orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) diidentifikasi tahun 2017,” demikian bunyi surat kepada Presiden.
Hurowitz menambahkan, pihaknya menegaskan kepada Pemerintah China bahwa berinvestasi pada sesuatu yang merusak lingkungan adalah tak benar. Pembangkit di Batang Toru itu dibangun perusahaan China, Sinohydro, dan didanai Bank of China. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia menolak mendanai proyek itu.
Sehari sebelumnya, tuntutan Walhi pada Gubernur Sumatera Utara agar membatalkan izin lingkungan proyek milik North Sumatra Hydro Energy (NSHE) itu ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara Sumatera Utara. ”Hakim hanya melihat prosedur, tetapi konten (isi analisis mengenai dampak lingkungan sebagai dasar pemberian izin lingkungan) tak dilihat,” kata Panut Hadisiswoyo, Direktur Pusat Informasi Orangutan.
Menurut Arrum dari Program Konservasi, warga yang menjadi petani dan nelayan akan terdampak. Sebab, PLTA itu akan beroperasi dengan mengumpulkan air 18 jam dan mengalirkan air selama 6 jam.
Sementara Maulana Agung, Staf External Relations PT NSHE, dalam keterangan pers, mengatakan, amdal PLTA Batang Toru telah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Firman Taufick, Vice President Communications and Social Affairs NSHE, menambahkan, pihaknya selaku pengembang PLTA Batang Toru berkomitmen mewujudkan PLTA ramah lingkungan dan menjaga ekosistem Batangtoru. Menurut catatan Kompas, ekosistem Batang Toru seluas 133.841