JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kembali berpartisipasi dalam ajang Olimpiade Khusus atau Special Olympic World Games (SOWG). Tahun ini, pesta olahraga bagi para atlet penyandang tunagrahita atau disabilitas intelektual itu akan berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 14-21 Maret. Pada Olimpiade Khusus ke-15 itu, kontingen Indonesia bertekad meneruskan prestasi positif yang telah diraih sejak pertama kali ikut ajang itu pada penyelenggaraan ke-11 di Dublin, Irlandia, pada 2003.
Sejak pertama kali ikut ajang tersebut hingga terakhir ikut di ajang ke-14 di Los Angeles, Amerika Serikat, pada 2015, kontingen Indonesia selalu meraih medali emas. ”Pada ajang kali ini, target utama kami meraih sedikitnya 10 medali jenis apapun. Tapi, kami akan berupaya keras meneruskan tradisi meraih emas di ajang tersebut, setidaknya dari cabang andalan bulu tangkis dan tenis meja,” ujar Wakil Ketua Delegasi Indonesia untuk Olimpiade Khusus 2019 Mustara di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Pada Olimpiade Khusus 2015, Indonesia mengirim 58 atlet. Saat itu, para atlet Indonesia menyumbangkan 19 emas, 12 perak, dan 5 perunggu. Pada Olimpiade Khusus 2019 ini, Mustara mengatakan, kontingen Indonesia berjumlah 96 orang, terdiri dari 68 atlet, 19 pelatih, 5 staf, 1 tenaga medis, 1 ketua delegasi, dan 2 wakil ketua delegasi. Atlet Indonesia akan berpartisipasi di 31 nomor pertandingan dalam 11 cabang olahraga, yakni atletik, bola basket, bulu tangkis, bola tangan, bocce, boling, futsal, sepak bola, renang, tenis meja, dan bola voli.
Umumnya, para atlet Indonesia itu adalah atlet dengan kecerdasan intelektual (IQ) di bawah normal dan ada juga atlet dengan down syndrome. Tantangan utama dalam melatih mereka, yakni para pelatih atau pendampingnya perlu perhatian lebih tinggi dan sabar guna menjalin komunikasi dan membina koordinasi antar-atlet tersebut.
”Tetapi, para pelatih itu sudah cukup berpengalaman dalam membina atlet disabilitas sebab mereka mayoritas lulusan ilmu olahraga yang mendapatkan mata pelajaran pendidikan olahraga adaptif (disabilitas),” kata Mustara yang juga menjabat Direktur Pelatnas Atletik PB PASI.
Motivasi atlet
Mustara mengatakan, para atlet Olimpiade Khusus Indonesia telah melakukan desentralisasi latihan atau latihan di daerah masing-masing secara berkelanjutan. Namun, untuk persiapan lebih matang, mereka dipanggil untuk melakukan pelatnas di Jakarta sejak 4 Februari.
Selama di Jakarta, para atlet mendapatkan kesempatan melakukan uji coba dengan atlet ataupun tim yang levelnya seimbang. Kini, mereka dinilai sudah bisa berkompetisi atau bertanding dengan baik, terutama dalam cabang beregu yang menuntut koordinasi antar-atlet.
Adapun kontingen Indonesia akan bertolak ke Abu Dhabi pada Jumat (8/3/2019) pagi. ”Kontingen Indonesia berangkat lebih awal sebelum penyelenggaraan agar bisa beradaptasi lebih baik dengan cuaca dan lingkungan di UEA. Tujuannya, agar hasil yang didapat bisa lebih optimal,” ujar Mustara.
Para atlet Indonesia mengaku sudah siap untuk berlaga di Olimpiade Khusus. Mereka juga punya cita-cita memberikan prestasi terbaik untuk Indonesia, terutama menyumbangkan emas. Hal itu dikemukakan atlet bulu tangkis asal Sleman, Yogyakarta, Riswida Wijayanto (19). Riswida yang telah berlatih sejak usia 13 tahun itu akan berlaga di nomor tunggal putra dan ganda campuran.
Siswa kelas 3 SMP di Sekolah Luar Biasa Bakti Siwi, Sleman, itu juga punya modal motivasi dari raihan sejumlah prestasi bergengsi skala nasional. Dia meraih antara lain medali perak tunggal putra di Pekan Paralimpiade Nasional 2018 dan perak tunggal putra di Pekan Olimpiade Khusus Nasional 2018.
”Saya punya mimpi mendapatkan dua emas di Olimpiade Khusus 2019 ini,” ujar Riswida yang akan menjajal pengalaman perdananya bertanding di luar negeri.
Kemenangan bukan utama
Ketua Umum Pengurus Pusat Special Olympics Indonesia (SOI) Faisal Abdullah mengatakan, kemenangan bukanlah target utama dalam mengikuti Olimpiade Khusus atau Special Olympic World Games. Partisipasi atlet dalam kompetisi dan proses mereka dalam pertandingan menjadi hal utama.
”Misi kami adalah membuat para disabilitas intelektual jadi lebih bermartabat dan mereka lebih mudah bergaul dengan siapa saja, terutama atlet-atlet dari kontingen lain,” kata Faisal. Para atlet Indonesia akan bertemu dengan sekitar 7.500 atlet lainnya dari 195 negara dalam ajang yang telah dimulai sejak 1968 itu.
Warga disabilitas intelektual, kata Faisal, memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dan berpikir. Dengan keterbatasan ini, mereka cenderung sulit diterima masyarakat. Oleh karena itu, melalui olahraga, warga disabel intelektual menjalani pengembangan diri. Proses ini akan berguna bagi mereka pada masa depan.
Dengan tujuan utama tersebut, SOI memiliki kebijakan khusus untuk memberikan kesempatan yang luas kepada penyandang tunagrahita untuk berpartisipasi di Olimpiade Khusus. Atlet yang sudah pernah mengikuti SOWG tidak akan diizinkan untuk ikut lagi pada edisi berikutnya sehingga selalu muncul wajah-wajah baru pada setiap edisi.
Akan tetapi, SOI menghadapi tantangan besar untuk selalu menyiapkan atlet-atlet baru. Hal ini tidak mudah karena masih ada delapan provinsi yang belum aktif dalam penyaringan atlet, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Aceh, Bangka Belitung, dan Lampung.
Idealnya, para atlet ini disaring melalui kompetisi berjenjang yang dimulai dari daerah. Atlet bisa mulai dengan berpartisipasi dalam Pekan Olahraga Cabang (kabupaten/kota), Pekan Olahraga Daerah (provinsi), Pekan Olahraga Nasional (nasional), hingga akhirnya menembus SOWG. ”Atlet yang sekarang akan tampil di Abu Dhabi rata-rata sudah menekuni bidang olahraganya selama 10 tahun,” ujar Faisal.