Terbukti Suap Panitera, Eddy Sindoro Divonis 4 Tahun Penjara
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Eddy Sindoro, mantan petinggi konglomerasi besar di Indonesia, terbukti menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Akibat tindakannya yang masuk kategori tindak pidana korupsi tersebut, hakim memvonis Eddy empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Hal itu disampaikan oleh majelis hakim yang diketuai hakim Hariono pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Hukuman yang disampaikan hakim itu lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa. Sebelumnya, Eddy dituntut jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pidana lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan.
“Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan gabungan beberapa kejahatan,” kata hakim Hariono.
Hakim menyatakan, Eddy bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Ini karena Eddy terbukti memberikan suap sebesar Rp 150 juta dan 50.000 dollar Amerika Serikat kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pemberian uang itu terkait perkara hukum yang menimpa dua korporasi, yakni PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan PT Across Asia Limited (AAL). Kedua perusahaan itu diyakini masih berafiliasi dengan salah satu jaringan konglomerasi besar di Indonesia.
Suap panitera
Perkara hukum kedua korporasi itu berkaitan dengan putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada 2013, yang menyatakan, MTP wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar 11,1 juta dollar Amerika Serikat.
Terhadap putusan SIAC, MTP tak kunjung melaksanakan kewajibannya, sehingga PT Kmyco mendaftarkan putusan itu di PN Jakarta Pusat agar perkara dapat dieksekusi di Indonesia.
Menindaklanjuti hal itu, PN Jakarta Pusat melakukan pemanggilan aanmaning (peringatan) kepada MTP pada tanggal 1 September 2015. Namun, berulangkali dipanggil, perwakilan MTP tidak hadir.
Mengetahui pemanggilan terhadap MTP, Eddy memerintahkan stafnya untuk mengupayakan penundaan aanmaning. Edy Nasution pun disebut bersedia menunda proses aanmaning dengan imbalan Rp 100 juta yang disetujui oleh Eddy. Uang itu diserahkan melalui perantara, Doddy Aryanto Supeno.
Adapun AAL dinyatakan pailit oleh putusan kasasi Mahkamah Agung pada tahun 2013. Namun, hingga tiba tenggat waktu, AAL tidak segera mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
Eddy pun meminta stafnya untuk mengupayakan pengajuan PK dan melakukan pengecekan di PN Jakarta Pusat pada tahun 2016. Staf Eddy pun kembali menghubungi Edy Nasution agar menerima pengajuan PK yang sudah melewati masa tenggat itu.
Edy Nasution bersedia melakukannya dan meminta imbalan Rp 500 juta. Kemudian Eddy menyetujui permintaan tersebut. Melalui kuasa hukum perusahaan, Edy Nasution menerima 50.000 dollar Amerika Serikat. Permohonan PK AAL pun didaftarkan dan langsung diurus Edy hingga sampai proses di Mahkamah Agung.
Menerima putusan
Hakim dalam menentukan hukuman Eddy telah melakukan pertimbangan. Hal yang memberatkan yaitu, Eddy tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi dan terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Sedangkan hal yang meringankan, Eddy bersikap sopan selama sidang, memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum.
Atas putusan hakim tersebut, Eddy menerima semua putusan yang diberikan hakim. “Yang Mulia Majelis Hakim terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, mendengar pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Yang Mulia, saya sangat terkejut. Tapi karena saya percaya Majelis Hakim mewakili Tuhan, maka saya terima,” katanya.
Sementara itu, jaksa Abdul Basir memberikan respon untuk ‘pikir-pikir’ dahulu. Hakim pun memberikan waktu kepada jaksa untuk berpikir maksimal tujuh hari sejak sidang putusan itu berlangsung. (MELATI MEWANGI)