SLEMAN, KOMPAS - Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Kamis (7/3/2019) pagi kembali mengeluarkan awan panas. Terjadi dua kali luncuran meski jaraknya masih di bawah radius bahaya yang ditetapkan sehingga belum membahayakan.
Menurut data Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Kamis itu, luncuran awan panas pertama terjadi pada pukul 07.44, dengan durasi 121 detik dan jarak luncur sejauh 1,2 kilometer (km). Luncuran kedua terjadi pukul 10.17, dengan durasi 97 detik dan jarak 1 km.
Kepala BPPTKG Hanik Humaida, menyatakan, jarak luncuran masih berada di bawah radius 3 km. Hal itu belum membahayakan penduduk karena tidak ada aktivitas penduduk dalam radius tersebut. Status gunung berapi itu pun masih sama, yakni Waspada (Level II).
“Itu masih kecil. Rekomendasi masih sama, agar masyarakat tetap tenang dan waspada. Masyarakat masih bisa beraktivitas seperti biasa, tetapi diminta agar tidak beraktivitas dalam radius bahaya yang sudah kami tentukan, yakni 3 km dari puncak Gunung Merapi,” kata Hanik, saat dihubungi Kamis siang.
Luncuran awan panas serupa sempat terjadi sebanyak 10 kali dalam sehari, pada Sabtu (2/3/2019) pekan lalu. Jarak luncurannya mulai dari 900 meter hingga 2 km. Luncuran tersebut pertama terjadi pukul 04.51, sedangkan luncuran terakhir terjadi pada pukul 20.45. (Kompas, 3/3/2019).
Hanik menjelaskan, alasan belum dinaikkannya status Gunung Merapi karena awan panas yang meluncur beberapa kali belum membahayakan penduduk. Ia menegaskan, status gunung tersebut bakal dinaikkan jika aktivitasnya mulai mengancam keselamatan warga.
Masyarakat masih bisa beraktivitas seperti biasa, tetapi diminta agar tidak beraktivitas dalam radius bahaya yang sudah kami tentukan, yakni 3 km dari puncak Gunung Merapi
“Statusnya tidak meningkat karena memang belum ada ancaman bagi penduduk. Tidak ada penduduk yang tinggal dalam radius 3 km. Tidak ada aktivitas penduduk juga di radius tersebut. Dasar bagi kami meningkatkan status gunung adalah adanya risiko dan ancaman terhadap penduduk,” kata Hanik.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Pelaksana BPBD DIY Biwara Yuswantana mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pembinaan secara periodik terhadap warga yang tinggal di lereng Merapi. Menurut dia, hal itu membuat masyarakat sedikit banyak mengetahui upaya mitigasi jika sewaktu-waktu terjadi erupsi.
“Itu memang sudah menjadi program kami. Secara periodik, warga yang tinggal di dekat Gunung Merapi kami bina soal mitigasi bencana kegunungapian. Saya pikir, warga sudah banyak yang memahami dan terlatih,” kata Biwara.
Sunarni (54), warga Dusun Kopeng, sedang memberi makan ternaknya, di rumahnya yang berada di kawasan lereng Merapi, Dusun Kopeng, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (2/3/2019). Ia tetap beraktivitas seperti biasa meskipun hari itu baru saja terjadi hujan abu tipis sehabis adanya luncuran awan panas dari Gunung Merapi.Biwara mengimbau, masyarakat tidak terprovokasi berita-berita mengenai Gunung Merapi yang tidak jelas kebenarannya. Walau sebenarnya, masyarakat sudah memiliki jaringan komunikasi yang terhubung dengan pos pengamatan Gunung Merapi. Lewat jaringan tersebut, masyarakat secara mandiri bisa saling berbagi informasi terbaru mengenai perkembangan gunung tersebut.
“Memang masyarakat ada juga yang membentuk jaringan komunikasi. Itu sangat membantu mereka mendapatkan informasi terkini yang akurat tentang perkembangan Merapi,” kata Biwara.