JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menilai penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap aktivis Robertus Robet oleh polisi, Rabu (6/3/2019), berlebihan. Orasi yang diikuti nyanyian yang menyinggung dwifungsi ABRI dalam aksi Kamisan tidak seharusnya membuat polisi atau tipis kuping atau marah.
Wakil Ketua Komisi III DPR Erma S Ranik pun menilai kasus yang disangkakan kepada Robertus dipaksakan. Robertus disangkakan melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas unggahan potongan video yang berisi rekaman orasinya pada aksi Kamisan, Kamis (28/2/2019), di Jakarta.
”Polisi jangan main-main dengan perkara ini. Ini bukan kasus pidana, tetapi mengenai kebebasan berekspresi. Kalau institusi negara tidak bisa dikritik, negara ini jadi otoriter. Kritik itu bagian dari demokrasi dan menyehatkan. Jangan tipis kuping kalau jadi institusi pemerintah,” kata Erma, yang dihubungi hari ini.
Ia pun berharap Presiden turun tangan karena perkara ini bisa berdampak buruk tidak hanya bagi demokrasi di Indonesia, tetapi juga bagi kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Menurut dia, hal seperti ini jarang terjadi selama belasan tahun aksi Kamisan diadakan. Aksi Kamisan, yang bermula dari upaya masyarakat mengusut kasus pelanggaran HAM berat pada 2007, kerap mengkritik pemerintah dan instansinya.
Ini bukan kasus pidana, tetapi mengenai kebebasan berekspresi. Kalau institusi negara tidak bisa dikritik, negara ini jadi otoriter.
Anggota Komisi I DPR Fraksi PDI-P, Charles Honoris, juga berpendapat bahwa perkara ini berlebihan. Robertus dijerat Pasal 45 Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 14 Ayat (2) juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 207 KUHP. Penerapan UU ITE seharusnya tidak memberangus kebebasan berekspresi dan kebebasan sipil.
”Menurut saya, penerapan Pasal 28 UU ITE terhadap kasus Robertus ini tidak tepat karena tidak ada unsur kesengajaan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan. Konteksnya mengingatkan agar masa kelam rezim militer Orde Baru tidak terulang kembali,” ujarnya.
Pada aksi Kamisan pekan lalu, Robertus menyanyikan pelesetan lagu ”Mars ABRI” yang kerap dinyanyikan para mahasiswa saat berdemonstrasi menuntut Reformasi 1998.
Lirik tersebut dinyanyikan untuk mengingatkan agar pemerintah tidak mengakomodasi kepentingan militer untuk kembali memasuki jabatan sipil. Hal ini juga agar tidak mencederai agenda Reformasi 1998. Kekhawatiran masyarakat ini menguak setelah pemerintah menyampaikan usulan restrukturisasi di tubuh TNI. (ERIKA KURNIA)