Hambatan Nontarif IA-CEPA Perlu Dicermati
JAKARTA, KOMPAS – Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Australia (IA-CEPA) telah menghapuskan hambatan tarif impor bagi kedua negara. Namun, masih ada hambatan nontarif yang berpotensi mempersulit produk Indonesia masuk Australia.
Salah satu hambatan nontarif itu adalah standardisasi produk. Jika tidak menerapkan strategi yang tepat, perjanjian itu dapat merugikan Indonesia.
Melalui IE-CEPA, Indonesia akan mulai menghapuskan tarif impor sekitar 94 persen atas sebanyak 10.252 jenis barang impor Australia. Sementara Australia akan menghapuskan seluruhnya tarif impor atau 100 persen atas sebanyak 6.474 jenis barang Indonesia yang masuk ke Australia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus saat dihubungi Kompas, Kamis (7/3/2019), mengatakan, kerja sama kedua negara memang akan semakin terbuka. Kerja sama itu tak hanya barang tapi juga jasa, investasi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Di sektor perdagangan barang, hambatan tarif pun dihapuskan. "Namun, konsekuensi yang perlu disadari adalah persaingan akan semakin ketat, mengingat hambatan nontarif tetap diberlakukan," kata dia.
Menurut Heri, tantangannya adalah para pelaku usaha perlu meningkatkan daya saing dengan negara kompetitor lainnya, baik dari segi kualitas maupun harga. Pemerintah pun berperan dalam menyosialisasikan peluang dan manfaat yang akan diperoleh dari IA-CEPA.
Para pelaku usaha perlu meningkatkan daya saing dengan negara kompetitor lainnya, baik dari segi kualitas maupun harga.
Tak hanya itu, pemerintah juga harus memberikan informasi terkait keadaan pasar Australia. Misalnya terkait standardisasi kendaraan hybrid dan elektrik, seperti standar dan kulitas produk.
"Seringkali, syarat standardisasi produk seperti itu menyulitkan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia," kata Heri.
Baca juga: Memanfaatkan IA-CEPA
Heri mengemukakan, di tengah persaingan ketat itu informasi standardisasi produk menjadi penting bagi pelaku usaha yang akan mengekspansi usahanya agar tidak menjadi hambatan. Perlu ada analisis pasar atau market intelligence di Australia yang dapat memberikan informasi komprehensif terkait standar kualitas yang ditetapkan.
Pemerintah juga harus menerapkan standar yang ketat atas produk Australia sehingga impor dapat terkendali. Secara tidak langsung, cara ini memberikan kesempatan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan standar dan kualitas produknya.
"Sebab, melalui perjanjian ini, jelas volume perdagangan kita pasti semakin meningkat. Namun, hanya yang siap berdaya saing-lah yang akan mendapatkan manfaat lebih banyak," tutur Heri.
Pemerintah juga harus menerapkan standar yang ketat atas produk Australia sehingga impor dapat terkendali.
Dampak positif inflasi
Analis Senior Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi menilai, saat perjanjian nantinya mulai diberlakukan, dampaknya bagi inflasi akan positif karena harga daging sapi, tepung, dan produk susu akan semakin stabil. Hal itu mengingat bea masuk sapi hidup jantan dan daging sapi beku dari Australia akan sebesar nol persen.
"Selama ini bea masuk sapi hidup itu sebesar 5 persen, sedangkan daging sapi beku sebesar 2,5 persen untuk volume tak terbatas dan selanjutnya bebas tarif setelah 5 tahun," kata dia.
Selain itu, tarif impor 5 persen atas beberapa produk susu juga akan dihapuskan, meski ada kemungkinan tarif bebas bea itu tidak berlaku bagi susu bubuk skim. Untuk impor sereal hingga 500.000 ton juga akan berlaku bebas bea, dan selanjutnya akan bertahap naik 5 persen per tahun.
Keuntungan lainnya, lanjut Lucky, kesepakatan baru diharapkan mampu mendorong ekspor tekstil dan otomotif. Dengan penghapusan tarif 5 persen untuk tekstil, akan memungkinkan Indonesia bersaing dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam yang sudah lebih dulu menikmati tarif nol persen.
Selain itu, ekspor kendaraan hybrid dan elektrik juga akan menikmati bebas pajak bila kendaraan yang diekspor sedikitnya 35 persen dari total konten kendaraan, sudah dirakit di Indonesia.
"Dengan kesepakatan itu, posisi Indonesia di kawasan akan menguat karena kita memiliki banyak bahan baku untuk pembuatan baterai kendaraan listrik yang diperlukan bagi kendaraan itu," papar Lucky.
Perdagangan jasa
Analis Kebijakan dari Indonesia Services Dialogue (ISD) Muhammad Syarif Hidayatullah menyampaikan, dalam IA-CEPA, pemerintah perlu memaksimalkan kesempatan dalam perdagangan jasa dan investasi. Menurutnya, perlu ada informasi terkait regulasi yang diterapkan Australia ketika pelaku usaha Indonesia mau membuka usahanya di sana.
Ditambah lagi, perdagangan dengan Australia tidak dapat hanya mengandalkan perdagangan barang yang beberapa tahun ini masih mencatatkan defisit. Kemendag mencatat, pada 2018, perdagangan dengan Australia mengalami defisit sebesar 3,03 miliar dollar AS, lebih baik dibanding pencapaian 2017, yang mencatat defisit sebesar 3,48 miliar dollar AS.
Maka, dibutuhkan upaya lebih untuk mendorong perdagangan jasa termasuk investasi. Syarif menyampaikan, pembenahan regulasi dalam negeri pun mutlak diperlukan. Sebab, hingga saat ini ekspor jasa masih dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi hambatan bagi perdagangan jasa.
Sementara ini, PPN jasa sebesar 0 persen baru berlaku untuk sektor jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan, serta jasa konstruksi. Nantinya, diharapkan PPN jasa 0 persen akan berlaku untuk semua sektor jasa ekspor. (Kompas.id, 25 Januari 2019).
"Sangat disayangkan apabila hambatan utama nantinya berasal dari regulasi dalam negeri, yang seharusnya kita bisa ekspor jasa ke Australia, tapi malah kalah kompetitif karena adanya peraturan terkait PPN," ujar Syarif.
Baca juga: Tahun Politik, Ratifikasi IA-CEPA Terancam Mundur
Selain itu, pendidikan vokasi juga menjadi poin penting lainnya. Mengingat perjanjian IA-CEPA akan memungkinkan Australia membuka kampus, bank, hingga rumah sakit, maka tenaga ahli dari Indonesia harus disiapkan agar tidak terjadi impor tenaga ahli di kemudian hari. (SHARON PATRICIA)