PALEMBANG, KOMPAS - Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan wilayah Sumatera mengungkap praktik jual beli lahan di kawasan hutan, tepatnya di kawasan Lalan, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sebagian besar kawasan hutan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Oknum pemerintah daerah diduga terlibat dalam praktik ini.
Kepala Seksi III Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatera Dodi Kurniawan, Kamis (7/3/2019) mengatakan, praktik ini terkuak saat timnya menangkap seorang pengusaha berinisial BS. "Dia nekat mengelola perkebunan sawit di kawasan hutan seluas 207 hektar, pada Selasa (5/3/2019). Padahal, kawasan hutan tidak boleh ditanami kelapa sawit," ucapnya.
Berdasarkan pengakuan BS, lahan tersebut diperoleh dengan membeli lahan kepada seorang oknum camat Lalan pada 2012 silam seharga Rp 6,5 juta per hektar atau total seharga Rp 1,2 miliar. Bukti jual beli yang menjadi pegangan BS hanya berupa kuitansi.
Namun, hingga kini, dia belum bisa membuktikan keberadaan kuitansi tersebut pada petugas. Dari keterangan BS, saat ini, oknum camat tersebut menjabat salah satu kepala dinas di Kabupaten Musi Banyuasin.
“Kami juga terus mengembangkan kasus ini termasuk kemungkinan memeriksa mantan oknum camat tersebut,” katanya.
Dodi menerangkan, berdasarkan aturan, kawasan hutan harus dikelola oleh masyarakat setempat dan boleh ditanami jenis tanaman hutan asal bukan kelapa sawit. Dia menambahkan, terungkapnya kasus ini bermula saat BS diduga membeli lahan di kawasan hutan seluas 50 hektar pada 2016 lalu. “Saat itu, yang ditangkap adalah salah satu penjualnya bernama Toyib. Namun, BS yang menjual tanah tersebut belum ditangkap,” katanya.
Adapun barang bukti yang diamankan di lokasi yaitu satu unit eskavator, satu unit telepon genggam, dan peralatan lain yang biasa digunakan untuk berkebun. Untuk sementara, BS diperiksa penyidik PPNS dan menjadi tahanan titipan di Kepolisidan Daerah Sumsel.
Dodi mengatakan, praktik jual beli lahan di kawasan hutan kerap terjadi. Bahkan, untuk menutupi praktik tersebut, beberapa pengusaha merekayasa pembelian dengan melibatkan masyarakat setempat untuk membentuk kelompok tani.
“Lahan tesebut seolah-olah dikelola oleh masyarakat, padahal dikelola pengusaha,” kata Dodi. Modus yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan KTP masyarakat setempat sebagai bentuk persetujuan penggunaan lahan.
Kami juga terus mengembangkan kasus ini termasuk kemungkinan memeriksa mantan oknum camat tersebut
Dodi memperkirakan, modus seperti ini sudah kerap kali terjadi. Bahkan alih fungsi lahan kawasan hutan di KHP Lalan Mendis sudah mencapai 4.000 hektar. Hal inilah yang menjadi pemicu sejumlah kasus kebakaran hutan di kawasan tersebut. “Beberapa lahan bekas terbakar malah menjadi tempat penanaman sawit,” kata dia.
Atas perbuatannya, BS dijerat dengan pasal 92 ayat (1) huruf a dan atau huruf b Jo pasal 17 ayat 2 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dalam aturan tersebut, setiap orang dilarang melakukan perkebunan tanpa izin menteri dan setiap orang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk melakukan perkebunan di kawasan hutan. BS diancam sanksi pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun dengan denda Rp 1,5 miliar hingga Rp 5 miliar.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Hairul Sobri mengatakan, terungkapnya kasus ini membuktikan kebobrokan sistem pengelolaan kawasan hutan. “Kewenangan pemerintah daerah yang terlalu tinggi membuat penyalahgunaan kewenangan sangat rawan terjadi,” kata dia.
Terlebih, dalam penetapan kawasan hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan terkadang tidak melakukan pemantauan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat melakukan pengawasan kawasan hutan. Apabila hal ini dibiarkan tentu akan merugikan masyarakat yang seharusnya lebih berhak mengelola kawasan hutan.