Kritik Dwifungsi ABRI, Penangkapan Robertus Robet Dinilai Janggal
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dosen Universitas Negeri Jakarta sekaligus aktivis hak asasi manusia, Robertus Robet, ditangkap polisi pada Rabu (6/3/2019) tengah malam. Robertus dibawa ke Markas Besar Kepolisian Negara RI di Jakarta untuk menjalani penyidikan.
Ia diperiksa sebagai tersangka kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait orasinya dalam aksi damai Kamisan yang mengkritisi Rancangan Undang-Undang TNI, 28 Februari lalu.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Arif Maulana, saat dikonfirmasi hari ini, membenarkan adanya informasi penangkapan tersebut. Ia mengatakan, Robertus ditangkap polisi di rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat, pada Rabu (6/3/2019) sekitar pukul 23.45. Ia lalu dibawa ke Mabes Polri dan dimintai keterangan oleh tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
”Saya dan teman-teman masyarakat sipil mendampingi Robertus. Pagi ini, berita acara pemeriksaan (BAP) baru selesai dibuat setelah ditanyai lebih kurang 15 pertanyaan,lebih kata Arif yang juga datang bersama aktivis yang kini membentuk Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi.
Mereka berasal dari lembaga Kontras, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty International Indonesia, Protection International, Hakasasi.id, Perludem, Elsam, Sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, dan Jurnal Perempuan.
Arif mengungkapkan, ada kejanggalan dari proses penangkapan dan penetapan status tersangka pada Robertus. Hal ini karena penangkapan dilakukan kurang dari 24 jam setelah laporan pelanggaran dibuat kemarin. Walaupun tidak ada penahanan atas penetapan status tersangka, Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi akan terus mendampingi dosen sosiologi tersebut.
”Kami akan dampingi terus sampai mana proses hukumnya berjalan. Bisa jadi polisi akan menghentikan penyidikan jika ketika pemeriksaan saksi tidak ada bukti yang cukup,” ujar Arif.
Robertus ditangkap dengan alasan melanggar Pasal 45 Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 14 Ayat (2) juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 207 KUHP.
Ia dinilai melanggar pasal-pasal tersebut setelah video orasinya pada aksi Kamisan di depan Istana Presiden, 28 Februari 2019, diunggah ke media sosial. Robertus menjadi salah satu orator dan ia menyanyikan potongan pelesetan ”Mars ABRI” yang dibuat pada era Reformasi 1998 untuk menolak dwifungsi ABRI. Orasi tersebut didokumentasikan oleh Jakarnaticus dengan durasi 7 menit 40 detik. Namun, saat ini, unggahan video tersebut sudah tidak tersedia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, yang dihubungi terpisah, mengatakan bahwa penangkapan terhadap Robertus oleh polisi sudah sesuai fakta dan koridor hukum.
”Kami membenarkan kejadian tersebut bahwa ada upaya paksa oleh tim penyidik agar tersangka dibawa ke Direktorat Siber dan dimintai keterangan. Proses penyidikan akan lanjut terus. Jadi, semua sudah sesuai apa yang dilakukan dan harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” tuturnya.
Ia juga mengonfirmasi bahwa saat ini tersangka tidak akan ditahan. Hal ini karena ancaman pidana sesuai pasal yang dikenakan hanya 2 tahun penjara. Adapun pelapor terhadap tindak pidana yang disangkakan kepada Robertus, menurut Dedi, tidak bisa diungkapkan.
Ketika ditanyai pandangan kepolisian terhadap kasus tersebut, Dedi hanya mengatakan bahwa kepolisian melihat kasus ini sesuai hukum. ”Kami profesional saja, sesuai fakta dan koridor hukum. Demikian juga dengan tanggapan kami, sesuai fakta hukum saja. Apa yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan,” ujarnya. (ERIKA KURNIA)