Hari raya Nyepi atau perayaan tahun baru Saka tahun ini jatuh pada Kamis, 7 Maret 2019. Masyarakat Bali merayakan Nyepi dalam hening. Saat perayaan Nyepi, selama 24 jam masyarakat Bali hanya beraktivitas di dalam rumah, tidak bepergian. Selain sebagai bentuk ritual budaya dan kontemplatif, momentum ini juga berkontribusi pada penghematan energi dan pengurangan emisi.
Nyepi berasal dari kata sepi yang berarti sunyi, lengang, tidak ada kegiatan. Jalanan dan ruang publik sepi dari orang yang lalu lalang. Aktivitas di prasarana publik, seperti pelabuhan dan bandara, berhenti, kecuali rumah sakit. Listrik tidak dinyalakan dan tidak ada api. Turis-turis tinggal di hotel tanpa hiburan musik, radio, atau televisi.
Meski hanya dialami sekali setahun, Nyepi adalah salah satu kontribusi Bali untuk penghematan energi. Sehari tanpa berkegiatan ini diyakini dapat menurunkan emisi yang menjadi bentuk tindakan nyata mendukung komitmen COP21 di Paris akhir 2015.
Dalam kesepakatan mengenai perubahan iklim tersebut, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon 29 persen dalam kurun 15 tahun (2030). Tujuan bersama yang hendak dicapai adalah agar pemanasan suhu bumi tidak meningkat lebih dari 2 derajat celsius.
Terkait hal tersebut, pemerintah sudah menetapkan pemakaian bauran energi (energy mixed) pada 2025 dengan memberi porsi yang cukup besar untuk pemanfaatan energi terbarukan atau energi bersih.
Dalam 10 tahun ke depan, pemanfaatan energi dari bahan bakar fosil bisa turun menjadi 25 persen, energi dari batubara 30 persen, gas 22 persen, dan energi terbarukan 23 persen. Saat ini, penggunaan energi terbarukan masih sekitar 11 persen.
Bali memiliki impian menggunakan energi yang berasal dari energi terbarukan. Salah satu pemanfaatan energi terbarukan adalah untuk kelistrikan. Dilihat dari rasio elektrifikasi, Bali termasuk yang memiliki angka rasio tinggi.
Pada 2014, rasio elektrifikasi sebesar 85,17 persen. Persentase tersebut di atas angka rasio elektrifikasi nasional yang sebesar 84,35 persen. Saat itu sudah 1.084.748 keluarga di Bali yang rumahnya dialiri listrik. Akan tetapi, masih ada sekitar 8.000 rumah tangga yang belum teraliri listrik. Sebagian besar listrik diperoleh dari distribusi PLN yang belum bersumber dari energi terbarukan.
Rasio elektrifikasi di Bali terus meningkat. Pada 2017, rasio elektrifikasi mencapai 94,42 persen. Tingkat elektrifikasi tersebut juga di atas angka nasional sebesar 92,80 persen. Sampai triwulan III-2018, angkanya mencapai 99,99 persen.
Saat ini, Bali juga sudah mulai mengembangkan berbagai energi bersih sebagai pembangkit listrik. Ada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kabupaten Karangasem dengan kapasitas 1 MWp on-grid. Juga PLTS Bangli dengan kapasitas 1 MWp on-grid dan 6 PLTS 15 kWp off-grid. Selain itu, telah dibangun pula pembangkit listrik tenaga biomassa berkapasitas 400 kWh dengan limbah bambu sebagai bahan baku.
Bali memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar. Untuk energi dari panas bumi, Bali memiliki potensi sebesar 262 kWh. Potensi lebih besar lagi dimiliki Bali yang bersumber dari energi laut (ocean energy), yaitu 319.923 kWh. Kemudian, energi air (hidro) dengan potensi 14.803 kWh dan tenaga angin yang berpotensi sebesar 802 kWh. Potensi ini menunggu untuk direalisasikan.
Tri Hita Karana
Upaya mengembangkan energi bersih atau energi terbarukan membutuhkan komitmen dan ”energi” yang besar agar berkelanjutan. Banyak proyek energi bersih di Indonesia yang gagal karena faktor teknologi dan pembiayaan. Faktor tersebut pun pasti akan dihadapi Bali. Meski demikian, Bali memiliki modal yang kuat untuk lebih berhasil.
Hal tersebut karena upaya Bali yang terus mengembangkan energi terbarukan selaras dengan filosofi Tri Hita Karana yang melekat dalam budaya masyarakatnya. Tri Hita Karana mengandung makna menjaga keseimbangan hubungan tiga elemen antara manusia dan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.
Filosofi ini mendasari setiap sendi kehidupan masyarakat Bali, termasuk untuk lebih cinta dan memelihara lingkungan. Perayaan Nyepi yang senyap menjadi puncak sekaligus acuan kuat yang menunjukkan harmonisasi dari Tri Hita Karana tersebut.
Kontribusi untuk memelihara lingkungan ini diupayakan oleh pemerintah setempat, salah satunya, dengan menjalankan program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri). Sistem ini menghasilkan pupuk organik dan biogas sebagai pengganti bahan kimia. Sistem ini turut mendukung program besar Bali Clean and Green.
Di bidang energi muncul desa-desa mandiri energi, seperti di Nusa Penida yang mengembangkan energi bahan bakar nabati berbasis minyak sawit. Juga desa-desa di kabupaten lain di Bali yang mengembangkan biogas untuk memasak dan penerangan.
Mengembangkan energi bersih berarti melakukan tindakan nyata kemandirian energi di tengah kebutuhan akan energi (terutama untuk listrik) yang kian meningkat karena membesarnya skala ekonomi. Bonusnya, Bali ingin menambah daftar julukan yang sudah dilekatkan kepadanya selama ini.
Selain dikenal sebagai ”Pulau Cinta” atau ”Pulau Dewata”, Bali juga ingin menyandang predikat sebagai ”Pulau Energi Bersih”. Program Bali sebagai percontohan pengembangan energi bersih ini sudah digaungkan sejak tahun 2015.
Predikat tersebut sangat mungkin terwujud karena Bali merupakan sebuah pulau yang tidak terlalu besar sehingga lebih mudah dikelola. Ditambah lagi dengan kondisi geografis yang mendukung, menjadi tujuan wisatawan dunia yang mendamba genuinitas, dan sudah memiliki infrastruktur memadai. Apalagi, Bali sudah ditetapkan sebagai Pusat Keunggulan (Center of Excellence) Energi Bersih Indonesia dalam sebuah forum internasional pada Februari 2016 lalu.
Hal yang menjadi hambatan hanya satu, yaitu dominasi bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil akan terus mendominasi jika tidak ada upaya yang kuat untuk mengembangkan energi terbarukan. (LITBANG KOMPAS)