MADIUN, KOMPAS — Mitigasi belum menjadi kunci penanggulangan bencana di Jawa Timur. Akibatnya, hanya karena hujan deras beberapa jam, bencana hidrometeorogi terutama banjir dan longsor melanda 15 kabupaten atau hampir 40 persen wilayah Jatim. Sebanyak 12.495 keluarga pun menanggung dampaknya.
Air hujan tidak mampu diserap dengan baik oleh tanah karena kondisinya yang jenuh. Air mengalir di permukaan tanah dan langsung menuju ke sungai-sungai besar. Akibatnya, sungai menjadi kelebihan daya tampung sehingga meluap ke berbagai tempat, seperti permukiman warga, area pertanian, dan infrastruktur jalan.
Data Pusat Pengendalian Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jatim merinci 15 kabupaten yang dilanda banjir sebagian besar berada di wilayah barat, di antaranya Kabupaten Madiun, Ponorogo, Ngawi, Magetan, Trenggalek, dan Pacitan. Di wilayah tengah banjir melanda Kabupaten Kediri, Blitar, Bojonegoro, dan Nganjuk.
Selain itu, di wilayah utara, banjir dilaporkan melanda Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, dan Probolinggo. Selain luapan sungai, banjir diperburuk oleh kondisi drainase yang kurang memadai sehingga tidak mampu mengalirkan air dengan kecepatan tinggi.
Hujansangatlebat
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo Charisal Akdian Manu mengatakan, curah hujan di sepanjang Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo sangat lebat, mencapai 150 milimeter per jam, dan berlangsung dalam waktu empat hingga lima jam. Hal itu diperparah oleh kondisi tanah yang jenuh sehingga fungsi resapan berkurang.
”Air mengalir di permukaan tanah dan langsung masuk ke sungai. Volume air melampaui daya tampung sungai sehingga selain meluap ke permukaan juga merusak beberapa tanggul sampai ambrol,” ujar Charisal di Madiun.
Pantauan hingga Kamis (7/3/2019), banjir di sebagian daerah sudah surut, tetapi di sebagian lainnya justru sedang tinggi-tingginya. Contohnya banjir di Kabupaten Madiun, Ponorogo, dan Ngawi yang disebabkan luapan Sungai Bengawan Solo dan anak-anak sungainya seperti Bengawan Madiun, Kali Jeroan, Kali Piring, dan Kali Glonggong.
Dari tiga kabupaten itu, banjir terparah terjadi di Madiun. Air menerjang delapan kecamatan dan menyebabkan 38 desa terdampak. Ketinggiannya bervariasi, mulai dari 30 sentimeter hingga 3 meter. Selain itu, banjir tidak hanya menggenangi rumah penduduk, tetapi juga merendam 230 hektar lahan pertanian yang mayoritas merupakan tanaman padi siap panen.
Hingga Kamis malam, kondisi genangan air masih tinggi di Kecamatan Balerejo, Kecamatan Madiun, dan Mejayan. Aliran listrik di rumah-rumah warga pun dimatikan total sehingga suasana menjadi gelap gulita. Ribuan warga berkumpul di berbagai sudut kampung yang masih terjangkau penerangan, seperti di pinggir Jalan Raya Madiun-Surabaya.
”Warga sangat memerlukan bantuan lilin untuk menerangi rumah, selain makanan siap santap,” ujar Muslimin (40), warga Desa Jeruk Gulung, Kecamatan Balerejo.
Apabila luapan Kali Jeroan menyebabkan banjir di permukiman, luapan Kali Glonggong menyebabkan banjir di ruas Jalan Tol Kertosono-Ngawi Km 604-605 dan jalan nasional Surabaya-Madiun di Desa Garon, Kecamatan Balerejo. Lalu lintas kendaraan sempat terganggu karena jalan tidak bisa dilewati kendaraan kecil.
Polisi dan petugas Jasa Marga mengeluarkan semua kendaraan kecil di Pintu Tol Caruban sehingga terjadi penumpukan dan antrean panjang sulit dihindari. Butuh waktu satu jam untuk menembus antrean di Pintu Tol Caruban.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, saat ini pihaknya masih fokus pada kegiatan tanggap darurat bencana guna memastikan warga korban tertangani dengan baik. Selanjutnya koordinasi akan dilakukan dengan semua pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, terutama wilayah rawan bencana, serta instansi terkait lain seperti BBWS Bengawan Solo.
Koordinasi itu penting untuk membahas upaya antisipasi guna memperkuat mitigasi bencana berdasarkan peran dan tugas masing-masing sehingga tidak tumpang tindih. Banjir merupakan ancaman bencana terbesar di Jatim karena frekuensi kejadiannya paling tinggi.
Kepala Pelaksana BPBD Jatim Subhan Wicaksono menambahkan, ada tujuh aliran sungai besar di wilayahnya, antara lain Bengawan Solo, Brantas, Sungai Welang di Pasuruan, dan Sungai Bajulmati di Banyuwangi. Keberadaan sungai diperparah oleh buruknya sistem drainase yang menyebabkan 22 kabupaten rawan bencana banjir.