Tak Ada Berita Seharga Nyawa
Wartawan kerap kali lupa atau abai pada risiko bahaya yang mengintainya, terutama saat meliput bencana. Tugas di atas segalanya. Belum lagi adrenalin yang terpompa. Hingga tiba pada titik kesadaran bahwa tidak ada berita seharga nyawa.
Sejak pertengahan 2018, Gunung Merapi di perbatasan DI Yogyakarta dan Jawa Tengah menggeliat. Akhir 2018, aktivitasnya kembali menarik perhatian setelah lava pijar dan awan panas keluar dari puncak dalam beberapa pekan terakhir. Sebelum itu, Merapi menampakkan kekuatannya lewat erupsi besar yang menewaskan ratusan orang pada tahun 2010.
Setiap kali Merapi (2.930 mdpl) meletus, ingatan saya selalu kembali ke masa 13 tahun lalu. Saat itu, Merapi erupsi yang menyebabkan korban jiwa dua orang. Meski sejak kecil saya tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari gunung berapi, yakni Kelud (1.731 mdpl) di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang juga memiliki tenaga besar, bagi saya Merapi punya arti tersendiri.
Bukan karena sudah dua kali manjat meski hanya sampai Pasar Bubrah, tetapi di Merapi inilah pertama kali saya merasakan pengalaman terkait aktivitas vulkanik. Saat Kelud meletus tahun 1990, saya masih relatif anak-anak sehingga tidak begitu memedulikannya.
Pengalaman terkait Merapi dimulai dari mencermati data perkembangan sang gunung di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Yogyakarta, hingga bersentuhan langsung dengan upaya pengungsian, erupsi, sampai pascaerupsi. Hal-hal seperti sabo dam dan aliran lahar dingin termasuk di dalamnya.
Di Merapi, saya juga bisa mengenal sosok fenomenal Raden Ngabehi Surakso Hargo atau Mbah Maridjan. Sang juru kunci Merapi meninggal akibat erupsi di tahun 2010. Keputusan-keputusannya sering menjadi acuan warga untuk mengungsi atau tidak.
Sebelum itu, pada tahun 2006, bencana letusan Merapi ”berpadu” dengan gempa 5,9 skala Richter yang mengguncang sebagian kawasan DI Yogyakarta dan Klaten di Jawa Tengah. Lebih dari 5.000 jiwa melayang akibat gempa yang terjadi saat hari masih pagi itu. Peristiwa ini menambah perbendaharaan pengalaman saya yang saat itu masih wartawan ”seumur jagung” di Kompas.
Kembali ke Merapi di pertengahan 2006. Begitu mendengar tanda-tanda peningkatan aktivitas sang gunung, rasa senang bercampur grogi membuncah. Pertanyaan seperti apa dan bagaimana meliputnya selalu muncul di benak wartawan baru seperti saya.
Bimbingan dari kepala biro, para editor, dan ngobrol dengan sesama reporter, menjadi bekal berharga untuk ngalor (bahasa Jawa menuju Merapi yang ada di sisi utara Kota Yogyakarta).
Hari demi hari meliput aktivitas pengungsian pun terlampaui. Terkadang, seusai mengetik berita, pada malam harinya saya kembali ngalor. Tentu saja saat itu tidak sendiri, tetapi bersama teman fotografer Kompas, menemaninya berburu foto lelehan lava pijar hingga dini hari.
Kehadiran warga setempat yang turut menemani kami, selain membantu menyingkirkan sepi, juga membantu menerobos portal-portal yang menutup akses ke Merapi. Selama aktivitas Merapi meningkat, akses menuju kawasan lereng atas memang tertutup bagi masyarakat umum, termasuk reporter.
Namun, rasa ingin tahu dan tuntutan tugas menyebabkan kami mengesampingkan imbauan yang melarang masuk terlalu jauh ke bagian atas lereng gunung.
Maklum, sebagai wartawan baru, rasa ingin tahu saya saat itu sedang menggelora. Ditambah kondisi yang minim pengalaman, saya terkadang nekat demi mendapatkan fakta lapangan dengan mata kepala sendiri dan bukan sekadar mengutip perkataan orang. Kalau diingat-ingat lagi, ternyata dulu saya sering grusa-grusu alias terburu-buru karena ingin cepat bisa mengakses peristiwa sehingga kurang memperhitungkan faktor risiko.
Puncak erupsi Merapi saat itu terjadi pada pertengahan Juni. Luncuran awan panas pada Rabu (14/6/2006), yang mengarah ke selatan, menyapu kawasan wisata Kaliadem di pinggir Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo. Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumah Mbah Maridjan.
Kawasan wisata itu dipenuhi material abu vulkanik, pasir, dan batu-batu besar yang suhunya diperkirakan mencapai 500 derajat celsius. Material vulkanik juga menimbun pintu bungker yang ada di tepi obyek wisata Kaliadem. Di dalam bungker ini, dua sukarelawan, yakni Warjono (32) dan Sudarwanto, yang bermaksud menyelamatkan diri saat awan panas menerjang, terjebak. Jenazah keduanya baru bisa dievakuasi dua hari kemudian.
Setelah ada kabar korban terjebak di bungker, upaya evakuasi oleh tim SAR, TNI, dan Polri pun dimulai sejak Rabu Malam. Pada Kamis siang, para reporter dari berbagai media sudah menunggu di lereng bawah, di sekitar Balai Desa Umbulharjo—mungkin ada juga yang diam-diam naik ke atas. Selain memantau kondisi pengungsi, tentu mereka menunggu kabar terbaru upaya evakuasi.
Tak puas menunggu di sekitar Balai Desa Umbulharjo, saya dan beberapa kawan, antara lain Herbangun Pangarso Aji dan Wahyu ”Tinuk” dari media cetak lokal, naik. Kami naik menggunakan sepeda motor melalui jalan Desa Kepuharjo. Kebetulan portal di sisi bawah tidak dijaga sehingga kami bisa langsung naik tanpa ”nego” lebih dulu dengan penjaga portal.
Sampai di atas, sepeda motor saya parkir di ujung jalan, di sisi timur Kaliadem atau di pinggir Kali Gendol. Sejauh mata memandang, terlihat hamparan material vulkanik berwarna abu-abu kehitaman. Asap masih mengepul tipis di beberapa titik. Bagian pangkal pohon yang terkena material pun masih membara dan mengepulkan asap.
Kacamata baru dari bahan plastik yang saya kenakan berubah menjadi buram hanya dalam hitungan menit. Sementara sepatu karet baru yang saya pakai yang semula agak keras langsung terasa lentur. Kami pun memilih melintas di atas papan yang telah ditata oleh tim SAR atau apa saja yang bisa dijadikan pijakan untuk bisa mendekat ke titik yang diperkirakan sebagai mulut bungker.
Suara ”ui... ui... ui...” merupakan sinyal bahwa awan panas sedang turun.
Di titik itu, puluhan personel tim SAR, TNI, dan Polri tengah berusaha melakukan evakuasi. Tidak berselang lama tiba-tiba handy talkie (HT) milik tim pencari berbunyi ”ui... ui... ui...”, keras dan panjang.
Kami hafal betul bahwa itu suara dari seismograf yang dipancarkan ke HT para sukarelawan. Suara ”ui... ui... ui...” merupakan sinyal bahwa awan panas sedang turun. Kebetulan kami juga sehari-hari meliput berita kriminal sehingga biasa membawa HT ke mana-mana untuk memantau situasi. Saat itu belum ada ponsel pintar yang memudahkan kerja wartawan seperti sekarang.
Hanya dengan satu komando, ”turun!”, semua yang ada di situ langsung berhamburan lari. Mereka tunggang langgang melintasi apa saja menuju kendaraan terdekat. Kendaraan di sini maksudnya beberapa mobil bak terbuka yang diberi atap milik TNI dan polisi dan sudah disiagakan di sisi barat Kaliadem.
Melihat tentara, polisi, dan tim SAR berlarian, saya pun ikut lari. Saya bisa meraih salah satu mobil dan bergelantungan di bagian belakang, di sisi kiri dengan kondisi kaki berpijak pada bumper. Mobil melaju kencang meninggalkan Kaliadem menuju titik aman terdekat.
Hanya dengan satu komando, ”turun!”, Semua yang ada di situ langsung berhamburan lari.
Karena kondisi darurat, saya hanya sempat berpegangan pada pipa atap kendaraan menggunakan tangan kiri. Adapun tangan kanan memegang kamera karena kamera tidak sempat saya masukkan ke dalam tas. Saat di tengah jalan yang berliku dan naik–turun itulah, pergulatan batin di dalam diri terjadi. Tangan kiri saya ternyata tidak kuat menyangga tubuh.
Di tengah situasi panik, yang terlintas di pikiran saya saat itu hanya niat untuk loncat dari kendaraan. Padahal, posisi saya untuk loncat tidak menguntungkan karena karena hanya bertumpu pada kaki dan satu tangan, menghadap ke depan lagi, sehingga risiko terjatuh di aspal sangat memungkinkan.
Namun, pikiran saya kembali membela niat itu. Saya berpikir, loncat ke jalan masih lebih beruntung dibandingkan jika tadi saya tidak lari dan ikut kendaraan yang masih tersisa. Artinya, loncat dari kendaraan masih lebih menguntungkan dibandingkan terkena awan panas. Dengan meloncat, risiko terbesar adalah cedera tangan dan kaki, tetapi tidak sampai terbakar.
Baca juga:
Tiba-tiba terlintas pikiran untuk minta tolong kepada aparat di samping kiri saya, ”Tolong, Pak, tangan saya tidak kuat.” Aparat bersangkutan ternyata langsung merespons. Dia merangkul saya. Begitu dalam rangkulan, pegangan tangan saya ke besi penyangga atap kendaraan pun lepas.
Beberapa ratus meter kemudian kendaraan berhenti. Saya langsung meloncat dan tergolek lemas. Jantung berdebar kencang, perut mual, dan ingin muntah. Aji dan beberapa teman mencoba menanyakan kondisi saya yang masih telentang di teras rumah warga. Beberapa saat kemudian, setelah bisa bernapas normal, saya mencoba mencari aparat yang tadi merangkul saya, tetapi tidak ketemu.
Saya belum sempat menyampaikan rasa terima kasih kepadanya hingga 13 tahun berlalu. Semoga bapak itu bersama keluarganya dan tim pencari yang lain selalu diberi keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Satu hikmah yang saya petik bahwa kita harus selalu waspada dan berhati-hati meski tugas sebagai reporter menuntut kita mendapatkan fakta seriil mungkin di lapangan. Khususnya saat meliput bencana alam yang sering tak terduga. Perhitungan matang atas risiko bencana berikut informasi perkembangan di lapangan mutlak dibutuhkan saat turun ke lapangan. Betul juga perkataan para senior saya, ”Tak ada berita seharga nyawa....”