BEKASI, KOMPAS — Warga kembali memblokade akses ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah Burangkeng di Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Mereka menagih kompensasi atas keberadaan TPA yang dinilai tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, warga merasakan dampak buruk di sekitar lokasi pembuangan.
Blokade warga itu berlangsung pada Kamis (7/3/2019) dari pukul 08.00 hingga pukul 11.30. Sekitar 300 warga memadati jalan dengan membawa spanduk tuntutan kompensasi. Sebagian warga berada di depan akses masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng. Sementara sebagian warga yang lain memadati halaman Kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah TPA Burangkeng.
Blokade itu kelanjutan dari demonstrasi mengenai TPA Burangkeng pada Senin (4/3/2019). Saat itu, warga meminta penghentian aktivitas TPA. Hal itu dilakukan warga dengan mencegah truk sampah masuk ke area pembuangan.
Ali Gunawan, Sekretaris Desa Burangkeng, menuturkan, tuntutan yang dilayangkan warga ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Warga meminta pemerintah memperhatikan kondisi dan pengelolaan di TPA Burangkeng yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Selain tuntutan pengelolaan TPA, warga juga menuntut perbaikan infrastruktur lingkungan yang rusak akibat aktivitas TPA.
”Kami menuntut kompensasi serta pengelolaan TPA yang baik sehingga tidak berdampak buruk terhadap warga sekitar. Sampai tuntunan kami didengar, TPA tidak akan dibuka,” kata Ali.
Warga masih menunggu inisiatif Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk merumuskan bentuk kompensasi. Selain itu, Ali berharap, TPA Burangkeng mendapat perhatian luas, terutama dari Bupati Bekasi, karena ada 10.000 keluarga dan 28.000 jiwa yang merasakan dampak negatif dari TPA Burangkeng di lahan seluas 11,6 hektar.
Rembuk kompensasi
Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Dodi Agus Suprianto mengatakan sudah mengundang warga pada Rabu (6/3/2019). Namun, pada pertemuan itu tidak ada perwakilan warga yang datang. ”Padahal, saat rapat ada dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dan pejabat dinas lain terkait agar tuntunan warga bisa didengarkan dan kami bicarakan bersama-sama,” kata Dodi.
Menurut Ali, alasan perwakilan warga tidak datang karena kecewa tidak ada perhatian langsung dari bupati selaku kepala daerah. Mereka mempertanyakan peserta undangan yang menghadirkan pemulung. ”Yang terdampak adalah warga. Seharusnya warga menjadi prioritas utama,” kata Ali.
Aksi keberatan kehadiran pemulung bukan tanpa alasan. Menurut Asep Saripudin (34), warga Kampung Cinyosok, Desa Burangkeng, ada oknum warga yang memiliki tanah luas untuk menampung dan mengelola sampah. Akibatnya, tanah dan sawah di sekitar tempat penampungan sampah ikut tercemar. ”Permasalahan di TPA belum selesai, ditambah lagi ada oknum yang memanfaatkan lahannya untuk menampung sampah sehingga lingkungan semakin tercemar,” kata asep.
Di depan TPA Burangkeng terhampar ilalang rumput. Tempat itu dulunya adalah sawah. Namun, sejak tiga tahun lalu, para petani meninggalkan sawah karena tidak dapat digarap akibat sampah yang semakin meluas. Tumpukan sampah di sana mencemari lahan sawah. Berdasarkan penuturan warga, tanaman padi menjadi sulit tumbuh dan bulir padi berubah menjadi kehitaman.
Masyarakat sekitar pun tidak lagi dapat menggunakan air yang dahulu menjadi sumber kehidupan. Sekarang air berubah menjadi coklat dan berminyak.
Carsa Hamdani (33) mengatakan, dalam musyawarah rencana pembangunan (musrembang) desa diusulkan 30 usulan, tetapi hanya 10 usulan yang disetujui. Dari 10 usulan itu, tidak ada satu pun usulan prioritas terkait dengan penataan TPA Burangkeng yang disetujui.
Poin yang diusulkan seperti perbaikan jembatan dan jalan desa yang rusak akibat arus keluar-masuk truk sampah. Usulan poin selanjutnya pembuatan sungai sepanjang sekitar 4 kilometer untuk membatasi TPA dengan lahan dan sawah.
Hamdani mengatakan, turunan poin kedua adalah pengelolaan limbah air dari TPA agar pencemaran tidak semakin parah. ”Serapan air dari sampah mengalir langsung ke sungai. Seharusnya ada pengelolaan terlebih dahulu,” katanya.
Terkait dengan keberatan dan usulan warga, Dodi menghargainya dan akan kembali mengundang warga tanpa pemulung pada Selasa (12/3/2019). Dodi berharap warga menghadiri rapat untuk bersama-sama membahas permasalahan TPA dan ada pendataan jumlah warga yang berdampak. Dodi juga meminta kearifan warga Desa Burangkeng untuk membuka TPA agar penumpukan sampah yang terbengkalai sebanyak 800 ton dapat teratasi sementara.
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah. Adapun kompensasi diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018. Kompensasi yang dimaksud di antaranya dapat berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan, dan pengobatan, ataupun kompensasi dalam bentuk lain. (AGUIDO ADRI)