Warga Burangkeng hanya bisa bernostalgia dengan memori kolektif masa kecil akan asrinya desa dengan pemandangan hamparan sawah. Sekarang, rona pemandangan indah itu lenyap diganti oleh tumpukan sampah yang membawa setumpuk masalah.
Masih segar dalam ingat Asep Saripudin (34), warga Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kabupaten Bekasi, ia bersama teman-temannya sering bermain dan mandi di kali tepi sawah sembari menikmati hamparan padi yang sudah merunduk kuning.
Namun, keceriaan itu sedikit demi sedikit terkikis ketika pada tahun 1995 aktivitas pembuangan sampah mulai masuk di Desa Burangkeng dan berlangsung hingga saat ini.
”Tidak ada lagi air jernih, sawah tidak lagi tergarap oleh petani karena sampah mencemari tanah. Setiap hari sampah semakin menumpuk tanpa pengelolaan yang baik,” ujar Asep.
Di depan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng terhampar ilalang liar. Tempat itu dulu adalah sawah. Namun, sejak tiga tahun lalu, para petani meninggalkan sawah karena tidak dapat digarap akibat tumpukan sampah yang semakin meluas. Tumpukan sampah di sana mencemari lahan sawah sehingga tanaman padi menjadi sulit tumbuh dan bulir padi berubah menjadi kehitaman.
Sejak aktivitas pembuangan sampah dimulai dan terus meluas, rona alam di Desa Burangkeng berubah drastis. Suasana sejuk nan asri berubah menjadi pemandangan gunung sampah yang mengeluarkan bau busuk. Sampah juga berceceran di jalan sehingga mengundang ribuan lalat. Selain itu, ketika musim kemarau, asap dari pembakaran sampah mencemari udara.
Masyarakat Desa Burangkeng pun tidak lagi dapat menggunakan air permukaan yang dahulu menjadi sumber kehidupan. Sekarang, air berubah menjadi coklat kehitaman dan berminyak.
”Yang diwariskan dari Desa Burangkeng untuk anak-anak dan generasi penerus selanjutnya adalah sampah, lingkungan yang tercemar, dan penyakit,” kata Asep.
Keceriaan warga sudah berubah menjadi amarah karena lingkungan mereka semakin tercemar. Mereka menilai pemerintah daerah setempat abai terhadap persoalan yang dialami warga terdampak TPA Burangkeng yang tidak dikelola dengan baik.
Ali Gunawan, Sekretaris Desa Burangkeng, menuturkan, pada tahun 1995 tidak ada izin area seluas 11,6 hektar menjadi TPA. Hanya ada izin untuk membangun kandang ayam. Sejak saat itu pula warga mulai keberatan dan sudah protes dengan aktivitas pembuangan sampah.
”Saat itu, warga sudah mulai resah karena jika dibiarkan akan berdampak buruk untuk lingkungan,” kata Ali.
Tahun berganti tahun, sampah semakin menumpuk dan tidak dikelola dengan baik sehingga lingkungan menjadi rusak. Warga dibuat tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Pada 2004, warga menyuarakan aspirasi dengan menuntut kompensasi dan perbaikan pengelolaan TPA Burangkeng.
”Namun, suara warga sama sekali tidak pernah didengar. Warga kecewa dan marah karena lingkungan tidak lagi bersahabat dan pemerintah daerah tidak memperhatikan kami,” kata Ali.
Warga tidak mau menyerah, mereka terus berjuang demi lingkungan yang sehat. Meski demikian, mereka sendiri tidak yakin lingkungan mereka akan kembali bersih seperti dulu.
Carsa Hamdani (34), warga Desa Burangkeng, mengatakan, dengan kondisi yang sudah telanjur parah seperti saat ini, sangat sulit untuk memperbaiki lingkungan yang sudah tercemar. Sekarang, warga hanya berharap pengelolaan TPA yang baik sehingga pencemaran lingkungan tidak semakin parah.
Sebagai bentuk perjuangan atas kepedulian lingkungan di Desa Burangkeng, warga berunjuk rasa dan memblokade TPA Burangkeng dari aktivitas pembuangan sampah. Aksi tersebut sudah berlangsung sejak Senin (4/3/2019) dan berlanjut pada Kamis (7/3/2019) dengan tuntutan kompensasi dan pengelolaan TPA.
Ali mengatakan, tuntutan yang dilayangkan warga berlandaskan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah. Adapun kompensasi diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2018. Kompensasi yang dimaksud di antaranya dapat berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan, atau kompensasi dalam bentuk lain.
”Sampai tuntunan warga didengar, tidak boleh ada aktivitas pembuangan sampah. Ada 10.000 keluarga dan 28.000 jiwa yang merasakan dampak negatif dari TPA Burangkeng. Ini harus menjadi perhatian bersama, terutama dari Bupati Bekasi. Lingkungan kami yang sudah rusak jangan semakin rusak karena TPA tidak dikelola dengan baik,” ujar Ali. (AGUIDO ADRI)